Provinsi Sweida di Suriah bagian selatan, yang secara historis menjadi jantung komunitas Druze, kembali bergejolak. Wilayah yang relatif tenang di awal konflik Suriah ini kini menjadi saksi bisu pertumpahan darah dan intrik geopolitik yang kompleks. Konflik internal antara milisi lokal dan elemen-elemen bersenjata lainnya, ditambah dengan campur tangan eksternal, telah menciptakan dinamika yang mengkhawatirkan. Di tengah pusaran ini, muncul nama "milisi Al-Hajri," sebuah entitas yang perannya semakin disorot, terutama terkait dengan ambisi kekuatan regional, Israel.
Dalam upaya memancing emosi orang Arab di Suriah, milisi ini merekam aksi brutal membantai warga Arab dan menculik anak-anak dari perkampungan Arab, dan mempublikasikan secara online.
Memahami siapa "milisi Al-Hajri" memerlukan penelusuran lebih dalam. Kelompok ini secara luas diasosiasikan dengan komunitas Druze di Sweida, yang menjadi penduduk minoritas tapi punya kekuatan besar dalam politik Suriah, bahkan sejak era Bashar Al Assad.
Mereka bukanlah entitas terorganisirz namun mempunyai kaitan dengan jaringan intelijen luar. Mereka terdiri dari unit-unit pertahanan diri lokal atau kelompok bersenjata yang loyal kepada pemimpin spiritual dan komunitas mereka. Identitas mereka seringkali terjalin erat dengan kepentingan perlindungan diri dan penegasan otonomi di tengah kekacauan Suriah.
Druze tak ingin dianggap sama dengan warga Suriah lainnya, mereka ingin diistimewakan dalam sistem federalisme yang juga sedang dituntutnoleh kelompok Kurdi SDF Suriah.
Pusat gravitasi spiritual dan politik Druze di Sweida adalah Sheikh Hikmat al-Hajri, salah satu dari tiga pemimpin spiritual tertinggi Druze di Suriah dan dulu dekat dengan rejim Bashar Al Assad. Sheikh al-Hajri dikenal karena sikapnya yang tegas dan blak-blakan. Berbeda dengan beberapa tokoh agama lain yang memilih kompromi, ia secara konsisten menyuarakan kritik tajam terhadap Damaskus yang dipimpin Presiden Al Sharaa, bahkan secara terbuka melabeli pemerintah Damaskus sebagai "pemerintahan ekstremis."
Postur anti-Damaskus ini memberikan legitimasi moral bagi perlawanan lokal.
Hubungan yang tegang antara Sheikh Hikmat al-Hajri dan pusat telah menjadi faktor kunci dalam dinamika Sweida. Keinginan Druze untuk diistimewakan dari warga Suriah yang lain mendorong pembentukan milisi internal.
Milisi-milisi yang berafiliasi dengan Sheikh al-Hajri atau yang loyal kepada prinsip-prinsipnya seringkali menjadi garis depan pertahanan komunitas Druze, menolak intervensi pasukan pro-pemerintah dalam upaya Druze memperkuat hegemoni terhadap warga Arab sekitar.
Namun, gejolak di Sweida bukanlah sekadar konflik lokal. Israel, sebagai pemain kunci di Timur Tengah, memiliki kepentingan strategis yang mendalam di Suriah, khususnya terkait dengan komunitas Druze, dan itu terkait proyek kolonialisme baru Greater Israel. Dengan populasi Druze yang signifikan di Dataran Tinggi Golan dan dalam angkatan bersenjata Israel, Tel Aviv secara terbuka menyatakan komitmennya untuk mendukung agenda "saudara-saudara" Druzenya di Suriah.
Pernyataan ini bukan sekadar retorika; Israel telah melakukan serangan udara ke wilayah Suriah, termasuk di dekat Damaskus dan bahkan di Sweida, dengan dalih melindungi komunitas Druze dari ancaman. Banyak tentara Suriah tewas karena berupaya mendamaikan konflik Druze dengan warga Arab.
Dalam konteks inilah, peran milisi Al-Hajri dapat dilihat sebagai alat yang tidak disengaja atau disengaja untuk menciptakan kondisi yang diinginkan oleh Israel. Dengan mendukung atau setidaknya membiarkan milisi Druze mempertahankan hegemoni mereka dan menentang Damaskus, Israel secara efektif menciptakan kantong-kantong perlawanan internal di dalam Suriah.
Keberadaan milisi yang tidak tunduk pada kontrol pusat Damaskus menciptakan fragmentasi kekuasaan, melemahkan kendali pusat, dan mengganggu upaya Damaskus untuk menyatukan kembali wilayah Suriah dalam satu pemerintahan.
Strategi Israel adalah menjaga Suriah tetap terpecah belah dan tidak stabil, sehingga secara perlahan tunduk pada ambisi regional Tel Aviv. Dengan membiarkan konflik internal terus berkobar di Sweida, Israel secara tidak langsung mendorong Damaskus untuk mengalokasikan sumber daya dan perhatian pada masalah domestik, alih-alih memfokuskannya pada perbatasan atau berupaya membebaskan Dataran Tinggi Golan yang telah lama dikuasai Israel secara tidak sah.
Milisi Al-Hajri, dalam perannya sebagai penentang pusat dan berkedok pelindung komunitas Druze, secara efektif menjadi aktor yang berkontribusi pada strategi "cipta kondisi" ini. Meski begitu sebagian besar warga Druze tetap mendukung Damaskus dan menolak intervensi Israel.
Pemberitaan mengenai kekerasan "milisi Al-Hajri" terhadap Badui, misalnya, meskipun tragis dalam dirinya, juga bisa berfungsi untuk memperkeruh situasi dan mencegah konsolidasi kekuasaan Damaskus.
Semakin banyak faksi yang bertikai di Suriah, semakin sulit bagi Damaskus untuk menegakkan kontrol penuh dan stabil di seluruh wilayah. Ini sesuai dengan kepentingan Israel untuk menjaga Suriah tetap dalam keadaan kacau balau namun tidak sepenuhnya kolaps, sebuah "kacau balau yang terkendali."
Selain itu, posisi geografis Sweida yang dekat dengan perbatasan Yordania dan Israel menjadikannya koridor strategis. Jika wilayah ini berada di bawah kendali penuh Damaskus dan sekutunya, itu akan membuat Suriah tak mudah diobrak-abrik Israel.
Oleh karena itu, keberadaan milisi Druze yang mandiri dan bisa mengacaukan wibawa Damaskus di Sweida berfungsi sebagai penyangga alami, memperumit upaya Kementerian Pertahanan untuk mengkonsolidasikan pengaruh mereka di selatan Suriah.
Meskipun tidak ada pengumuman terbuka mengenai koordinasi operasional antara Israel dan "milisi Al-Hajri," dukungan politik dan moral Israel kepada komunitas Druze di Suriah adalah fakta yang terdokumentasi.
Pernyataan publik Israel mengenai perlindungan Druze, disertai dengan tindakan militer selektif di Suriah, memberikan sinyal yang jelas bahwa Tel Aviv memiliki kepentingan untuk mendukung ketidakstabilan ini, bahkan jika itu berarti melemahkan kedaulatan Damaskus dan dikecam negara Arab dan PBB.
Dengan demikian, milisi Al-Hajri, meski motif utamanya adalah menuntut keistimewaan dan memperkuat hegemoni terhadap warga Arab, secara tidak langsung menjadi bagian dari permainan geopolitik yang lebih besar.
Mereka menjadi pion, atau setidaknya alat, dalam strategi Israel untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kekacauan terkendali di Suriah, yang pada akhirnya bertujuan untuk melemahkan pemerintahan Damaskus dan menghambat agenda pihak yang dianggap tidak memihak kepada Israel di wilayah tersebut.
Fenomena ini adalah contoh nyata bagaimana konflik lokal dapat diperalat oleh kekuatan regional untuk mencapai tujuan strategis mereka. Gejolak di Sweida, yang dipicu oleh ketegangan komunal dan keangkuhan sukuisme Druze, kini telah terjalin dengan narasi yang lebih besar tentang keamanan regional dan persaingan kekuasaan.
Milisi Al-Hajri, dengan perannya sebagai penantang Damaskus, telah menjadi simbol dari kompleksitas dan bahaya intervensi eksternal dalam konflik internal.
Masa depan Sweida dan peran milisi Al-Hajri akan sangat bergantung pada dinamika yang terus berubah di Suriah dan di kawasan yang lebih luas. Selama pemerintah Suriah tetap berupaya menegakkan kontrol penuh dan selama Israel melihat kepentingan keamanannya terancam oleh kedamaian di Suriah, milisi-milisi lokal seperti Al-Hajri kemungkinan akan terus memainkan peran penting, baik secara sadar maupun tidak, dalam menjaga keseimbangan kekuatan yang rentan di Suriah. Sebuah keseimbangan yang, bagi Damaskus, adalah gangguan; namun bagi Israel, mungkin adalah strategi.
Posting Komentar