Technology

Latest Updates

Tiga Wajah Konstruksi Bangunan di Suriah

September 15, 2025

Pemandangan kota dan desa di Suriah hari ini menghadirkan kontras yang kuat. Di satu sisi, bangunan yang runtuh akibat konflik bertahun-tahun masih berdiri dengan tiang dan dinding yang setengah hancur, menanti untuk diperbaiki. Di sisi lain, ada gedung-gedung baru yang sedang dibangun dengan semangat rekonstruksi. Namun, tidak sedikit pula proyek lama yang terbengkalai, setengah jadi dan ditinggalkan tanpa kejelasan.

Ketiga bentuk bangunan ini kini menjadi wajah nyata kehidupan masyarakat Suriah. Yang pertama adalah bangunan rusak akibat perang. Banyak di antaranya masih bisa diperbaiki karena struktur utama masih berdiri. Pemukiman, sekolah, hingga masjid menjadi bagian dari deretan bangunan yang menunggu sentuhan rekonstruksi.

Yang kedua adalah bangunan yang sudah lama tidak selesai. Beberapa bahkan mangkrak jauh sebelum konflik pecah. Ada yang merupakan proyek pemerintah, ada juga yang dimiliki pihak swasta, terutama pengembang di bidang properti. Gedung-gedung itu kini menjadi simbol stagnasi yang memanjang.

Bentuk ketiga adalah bangunan baru yang muncul dari semangat bertahan. Lembaga swadaya masyarakat mendirikan asrama untuk anak yatim dan janda. Militer membangun barak baru di sejumlah wilayah. Sementara pengembang dan investor mulai membangun kompleks hunian serta fasilitas komersial, meski dengan tantangan berat.

Ketiga jenis bangunan ini bersaing dalam satu hal yang sama: kebutuhan bahan bangunan. Permintaan tinggi membuat harga bahan melonjak tajam, terutama untuk blok beton yang menjadi material utama.

Video yang beredar dari pedesaan Damaskus menggambarkan situasi ini dengan jelas. Seorang pekerja konstruksi mengeluhkan bahwa harga blok beton naik drastis. Dari sebelumnya 3.000 lira, kini menjadi 5.000 lira per blok. Lonjakan harga ini menjadi pukulan berat bagi masyarakat.

Dampaknya, banyak orang menunda pembangunan atau renovasi rumah mereka. Rumah yang semula bisa diperbaiki dengan biaya terbatas, kini harus ditunda. Bahkan, harga rumah yang sudah selesai juga ikut melambung, memaksa sebagian besar warga beralih menyewa.

Kenaikan harga tidak hanya dirasakan oleh pemilik rumah, tetapi juga pekerja bangunan. Jika sebelumnya mereka bisa bekerja penuh dalam sepekan, kini hanya mendapat tiga hari kerja. Artinya, pendapatan mereka berkurang hampir setengah.

Biaya produksi blok beton dan bahan bangunan lain ikut naik karena harga listrik, solar, serta bea cukai yang tinggi. Semua faktor itu saling menekan hingga industri konstruksi menjadi serba mahal.

Kondisi ini menimbulkan efek domino. Saat pembangunan terhenti, pekerjaan lanjutan seperti plester, pemasangan ubin, cat, instalasi listrik, dan sanitasi juga ikut berhenti. Diperkirakan hingga 80 persen pekerjaan di sektor turunan ikut lumpuh.

Meski begitu, sisi positif tetap terlihat. Permintaan bahan bangunan yang tinggi membuka lapangan kerja baru bagi warga pedesaan. Banyak yang kini beralih membuat batu bata dan blok beton secara manual untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal.

Di desa-desa sekitar Damaskus, suara cetakan blok beton bergema sepanjang hari. Para pekerja kecil itu berupaya mengisi celah yang ditinggalkan oleh pabrik besar yang kesulitan memenuhi pasokan.

Namun, tetap saja kapasitas mereka tidak sebanding dengan tingginya permintaan. Harga tetap tinggi, sementara daya beli masyarakat semakin tertekan.

Kondisi ini juga memunculkan kesenjangan sosial. Mereka yang punya akses dana besar bisa melanjutkan pembangunan, sementara rakyat kecil harus rela hidup di bangunan setengah jadi atau rumah sewaan.

Di beberapa wilayah, proyek LSM menjadi penopang utama. Gedung-gedung baru untuk yatim piatu dan janda menjadi harapan segar, meski jumlahnya terbatas.

Investor swasta juga mulai masuk dengan proyek hunian, tetapi harga yang ditawarkan seringkali tidak terjangkau bagi kebanyakan warga.

Bangunan militer, sebaliknya, justru berkembang pesat. Barak baru dan fasilitas pertahanan menjadi prioritas, sekaligus menegaskan peran militer dalam peta konstruksi Suriah pascaperang.

Situasi ini mencerminkan dilema besar. Suriah membutuhkan pembangunan untuk pulih, tetapi biaya yang tinggi membuat prosesnya berjalan lambat.

Wajah tiga bentuk bangunan—hancur, mangkrak, dan baru—menjadi simbol perjalanan panjang negeri itu. Ia menggambarkan luka, ketidakpastian, sekaligus secercah harapan yang terus dipertahankan.

Masyarakat Suriah kini berdiri di tengah pusaran, mencoba membangun kembali kehidupannya di antara puing, gedung tak selesai, dan konstruksi baru yang terus bermunculan.

Suku-Suku Suriah dan Pengaruh Politiknya

September 13, 2025

Suriah dikenal sebagai negara dengan keragaman suku, kabilah, dan komunitas agama-sektarian yang kompleks. Mayoritas penduduknya terdiri dari Arab, dengan sekitar 30 kabilah besar yang tersebar di berbagai wilayah. Kabilah-kabilah ini memainkan peran penting dalam struktur sosial, politik, dan militer negara, terutama dalam konteks konflik dan mobilisasi massa.

Beberapa kabilah Arab paling menonjol di Suriah antara lain Al-Baqarah, Al-Aqeedat, dan Turkmen. Mereka tersebar di wilayah Damaskus, Al-Hasakah, Raqqa, Deir ez-Zor, Homs, Aleppo, Idlib, dan Hama. Keberadaan mereka membentuk jaringan sosial yang kuat, memungkinkan mobilisasi cepat jika diperlukan, baik untuk pertahanan lokal maupun konflik berskala nasional.

Kabilah Badui besar, seperti Shammar dan Anizzah, memiliki pengaruh yang signifikan di wilayah utara dan timur Suriah. Mereka dikenal dengan kemampuan mobilisasi yang cepat dan penguasaan wilayah gurun, sehingga menjadi aktor penting dalam dinamika politik dan keamanan di kawasan tersebut.

Di sisi lain, kabilah pedesaan seperti Baggara, Al-Murad, dan Al-Atrash memiliki pengaruh di Hama, Homs, dan Suwayda. Kabilah ini berfokus pada pertanian dan pedesaan, tetapi tetap menjaga kekuatan sosial yang dapat dimobilisasi dalam keadaan darurat.

Minoritas agama-sektarian seperti Alawiyah dan Druze juga Arab, namun mereka tidak dianggap bagian dari kabilah Arab tradisional. Hal ini disebabkan struktur sosial mereka yang berbasis komunitas agama dan wilayah konsentrasi tertentu, bukan jaringan kabilah luas yang tersebar di berbagai wilayah. Alawiyah dominan di Latakia, sementara Druze di Suwayda, sehingga mobilisasi mereka lebih bersifat sektarian daripada kabilah.
Perkumpulan suku-suku Suriah juga sering mengadakan pertemuan rutin, terutama di kota Suwayda. Pertemuan ini menjadi ajang koordinasi sosial dan politik antara kabilah Arab, namun minoritas Druze, meskipun hadir secara lokal, memiliki mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda dan lebih internal.

Suku Arab mayoritas yang mendukung pemerintah pusat atau milisi pro-Damaskus di era Presiden Ahmed Al Sharaa termasuk Baggara, Al-Aqeedat, dan beberapa cabang Al-Baqarah. Mereka sering menjadi basis perekrutan milisi lokal dan berperan dalam keamanan wilayah pedesaan.

Sementara itu, dukungan terhadap SDF (Syrian Democratic Forces) mayoritas berasal dari komunitas Kurdi dan beberapa suku Arab yang berada di Al-Hasakah, Raqqa, dan Deir ez-Zor. Kabilah seperti Shammar dan sebagian anggota Al-Baqarah dan Anizzah di timur laut diketahui bekerja sama dengan SDF karena kepentingan lokal dan perlindungan wilayah mereka.

Dalam konteks konflik Suriah, pengaruh suku tidak hanya soal jumlah, tetapi juga tentang jaringan sosial, sejarah mobilisasi, dan hubungan dengan kelompok politik atau militer. Ini menjelaskan mengapa kabilah Arab tetap menjadi pemain utama meski minoritas agama-sektarian Arab seperti Alawiyah dan Druze memiliki peran politik yang besar.

Tokoh Suriah terkenal juga mencerminkan afiliasi suku dan komunitas. Misalnya, Ahmed Al-Sharaa dari Daraa adalah Arab Sunni pedesaan atau sering disebut Annaza atau عنزة, sedangkan Bashar al-Assad dan keluarga Assad berasal dari Alawiyah di Latakia. Sultan al-Atrash, tokoh Druze legendaris, berpusat di Suwayda.

Sejumlah kabilah Arab pedesaan dan Badui yang mendominasi politik lokal antara lain: Al-Baqarah, Al-Aqeedat, Turkmen, Shammar, Baggara, Anizzah, Al-Hariri, Al-Jabour, Al-Murad, Al-Kurdi (Arab-Kurdi), Al-Harsh, Al-Sheikh, Al-Mashaal, Al-Fadl, Al-Shammar (varian), Al-Sayyad, Al-Azmeh, Al-Khatib, Al-Mufti, Al-Qudsi, Al-Halabi, Al-Salim, Al-Hassan, Al-Matar, Al-Rifai, Al-Karami, dan Al-Sharaa.

Minoritas besar lain yang memiliki pengaruh politik tetapi tidak dianggap kabilah Arab tradisional karena mempunyai perkumpulan sendiri adalah Alawiyah dan Druze. Keduanya menjadi kelompok dominan selama pemerintahan Bashar Al Assad dan ayahnya sehingga wajar wilayah keduanya menjadi yang termaju di Suriah dari pembangunan dan income percapita. Alawiyah menguasai wilayah pesisir dan memiliki jaringan politik yang kuat, sementara Druze menjaga otonomi di Suwayda.

Suku-suku ini, terutama yang Arab, juga memiliki kemampuan untuk mengorganisir “Perkumpulan Suku Suriah”, yang menjadi mekanisme koordinasi dan diplomasi internal. Kegiatan ini memperkuat solidaritas kabilah di tengah ketegangan dengan kelompok bersenjata lain.

Di wilayah utara dan timur, beberapa suku Arab bekerja sama dengan Turkmen (dulu bagian dari SIG) atau komunitas Kurdi (SDF) untuk kepentingan ekonomi dan keamanan. Hubungan ini menunjukkan fleksibilitas politik kabilah Arab di Suriah.

Selain itu, wilayah pedesaan seperti Aleppo, Hama, Idlib, dan pedesaan Damaskus dipenuhi suku Arab pertanian yang menjaga stabilitas lokal. Mereka menjadi jaringan penting dalam konflik internal dan dukungan pemerintah atau kelompok milisi tertentu.

Keberadaan kabilah Arab juga terlihat dalam struktur milisi lokal yang mendukung pemerintah atau SDF. Baggara, Al-Aqeedat, dan beberapa cabang Al-Baqarah tetap menjadi basis pemerintah, sedangkan Shammar, Anizzah, dan sebagian anggota Al-Baqarah di timur laut lebih condong ke SDF.

Struktur sosial kabilah ini memengaruhi politik lokal. Suku Arab tradisional mampu memobilisasi pejuang secara cepat, membentuk jaringan pertahanan, dan menjadi penentu keseimbangan kekuatan di wilayah masing-masing.

Dalam sejarah Suriah modern, konflik dan aliansi kabilah Arab dengan pemerintah maupun SDF membentuk dinamika yang kompleks. Aliansi kabilah sering bergeser sesuai kebutuhan keamanan, ekonomi, dan perlindungan wilayah.

Meskipun minoritas Alawiyah dan Druze memiliki pengaruh politik tinggi, mereka lebih bersifat sektarian dan terpusat di wilayah tertentu. Struktur mereka berbeda dengan jaringan kabilah Arab yang tersebar luas dan mampu memobilisasi ribuan anggota.

Kehadiran 30 kabilah Arab yang disebutkan menjelaskan dominasi sosial-politik Arab dalam konflik dan pemerintahan lokal. Mereka tetap menjadi aktor kunci, sementara minoritas seperti Alawiyah dan Druze beroperasi dalam jaringan internal mereka sendiri.

Perbedaan struktur ini juga memengaruhi dukungan terhadap milisi, pemerintah, dan SDF. Suku Arab mayoritas tetap menjadi tulang punggung dalam mobilisasi sosial-politik, sedangkan Alawiyah dan Druze lebih fokus pada stabilitas internal komunitas dan pengaruh politik terpusat.

Dengan demikian, Suriah tetap merupakan negara yang sangat bergantung pada dinamika kabilah Arab, meski minoritas sektarian Arab seperti Alawiyah dan Druze memiliki peran strategis. Struktur sosial dan afiliasi kabilah menjadi faktor utama dalam menentukan aliansi, konflik, dan distribusi kekuasaan di wilayah Suriah.

Dana Kurang, Masjid Tadamun Suriah Gelar Penggalangan Dana

Agustus 03, 2025

Masjid di Hay al‑Tadhamun, kawasan selatan Damaskus, tengah menggagas penggalangan dana untuk memperbaiki bangunan yang rusak parah setelah konflik panjang di Suriah. Inisiatif ini memunculkan pertanyaan besar: jika negara Suriah tengah menjalani rekonstruksi nasional, mengapa masjid masih harus mengandalkan bantuan lokal dari komunitas?

Meskipun pemerintah baru Suriah telah menjalin kerja sama internasional untuk memulihkan infrastruktur, dana besar untuk rekonstruksi sebagian besar masih belum mengalir secara efektif. Menurut laporan Global dan UNDP, total kebutuhan rekonstruksi mencapai antara 250 hingga 400 miliar dolar AS  , namun sebagian besar proyek belum terealisasi atau masih dalam tahap perencanaan.

Meski sejak tahun lalu telah dibentuk dana khusus UN, yakni Syrian Early Recovery Fund senilai sekitar 500 juta dolar selama lima tahun, dan sulitnya akses dana eksternal akibat sanksi ekonomi  yang telah lam menjadi hambatan utama, meski sudah mulai dikurangi. Penggunaan sebagian besar anggaran rekonstruksi juga tidak merata, seperti yang dilaporkan oleh OCCRP, yang menyebut bahwa hampir 90% dana pemerintah yang dikumpulkan melalui pajak telah dialokasikan untuk lembaga negara dan keamanan yang belum stabil.

Warga Damaskus terutama di kawasan padat penduduk seperti al‑Tadhamun, Hajar al‑Aswad, dan Yarmouk menghadapi realitas urban yang lembek: infrastruktur buruk, layanan minim, dan kerusakan masif akibat konflik. Dalam kondisi ini, masjid sebagai pusat sosial-keagamaan menjadi simbol vitalis untuk komunitas yang bangkit dari trauma.

Komunitas di Hay al-Tadhamun telah memulai penggalangan dana mandiri untuk memperbaiki masjid mereka, menandakan bahwa bantuan resmi maupun internasional belum menjangkau kebutuhan dasar spiritual lokal. Ini bukan sekadar soal dukungan simbolik, melainkan kehadiran praktis masjid yang memberi harapan bagi ketahanan spiritual masyarakat.

Sementara beberapa negara Teluk telah mencairkan dana — seperti Saudi Arabia dan Qatar yang melunasi hutang Suriah ke Bank Dunia serta menjamin investasi puluhan miliar dolar untuk rekonstruksi, realisasi bantuan untuk perbaikan properti komunitas di wilayah seperti Tadamun masih sangat terbatas. Banyak bantuan difokuskan pada proyek skala besar, seperti pembangunan infrastruktur energi, hunian massal, dan sektor publik.

Pada era Bashar Al Assad, pendanaan besar ini juga lebih banyak tertuju pada daerah-daerah loyalis rezim dan proyek-proyek yang dikelola langsung oleh struktur pemerintah atau entitas militer. Menurut investigasi independen, sebagian besar kontrak rekonstruksi diberikan kepada perusahaan dekat rezim dan di bawah kendali elite loyalis. Hal ini juga mempersempit aliran dana ke komunitas oposisi ataupun wilayah padat yang kesulitan seperti Tadamun.

Selanjutnya banyak sumbangan besar mengalir melalui proyek filantropi lintas negara dan lembaga donor internasional. Misalnya, Aga Khan Foundation menyumbang €100 juta selama dua tahun sebagai kontribusi pembangunan untuk program pengembangan Suriah secara luas.Meski penting, sebagian besar bantuan diarahkan ke sektor pendidikan, kesehatan, dan kompleks komunitas besar, bukan khusus untuk perbaikan masjid setempat.

Pemerintah Suriah juga tengah menyiapkan proyek revitalisasi nasional jangka panjang, termasuk dana obligasi nasional dan National Reconstruction Fund (NRFS) yang direncanakan akan mencakup hingga 1% dari anggaran tahunan negara. Tetapi, pelaksanaannya masih lambat dan kurang menjangkau kebutuhan masyarakat grass‑root.

Dalam konteks ini, di era Presiden Ahmed Al Sharaa, penggalangan dana masjid di Hay al‑Tadhamun sesungguhnya mencerminkan dua realitas: satu, pemerintah yang bekum menjangkau hingga tingkatan komunitas kecil; dua, masyarakat lokal terpaksa berinisiatif sendiri demi kelangsungan tempat ibadah mereka. Ini bukan sekadar urusan ekonomi, tapi juga soal identitas dan kohesi sosial setelah trauma berkepanjangan.

Penggalangan dana seperti ini bisa dilihat sebagai cermin ketimpangan distribusi bantuan besar dan bantuan lokal. Komunitas agama kadang terabaikan dalam aliran dana yang diprioritaskan untuk proyek infrastruktur besar dan simbol negara. Akibatnya, masjid dan fasilitas sosial cenderung bermasalah padahal memiliki peran vital dalam kehidupan sehari-hari warga.

Ke depan, penyelarasan antara skema rekonstruksi nasional dan kebutuhan komunitas sangat krusial. Bantuan yang tidak tepat sasaran bisa memperdalam ketimpangan dan memicu ketidakadilan. Reformasi institusi dan partisipasi masyarakat lokal, termasuk masjid, akan menjadi penentu keberhasilan rekonstruksi.

Secara garis besar, Suriah memang memiliki sejumlah mekanisme pendanaan dan kerja sama internasional untuk rekonstruksi, tetapi realisasi di tingkat akar rumput belum memadai. Ini memicu munculnya penggalangan dana mandiri di kawasan seperti Hay al‑Tadhamun sebagai upaya bertahan dan pulih dari kerusakan konflik.

Penggalangan dana untuk masjid adalah bukti nyata bahwa proses rekonstruksi Suriah masih jauh dari tuntas. Harapan akan kucuran bantuan ini tetap tinggi, namun masyarakat tak bisa menunggu hingga sistem besar sepenuhnya berfungsi. Inisiatif lokal seperti ini menjadi wujud daya tahan dan semangat solidaritas di tengah kesulitan.

‎Mengenal Milisi Druze Al Hajri, Pion Israel untuk Ciptakan Konflik Sektarian di Suriah

Juli 17, 2025
‎Provinsi Sweida di Suriah bagian selatan, yang secara historis menjadi jantung komunitas Druze, kembali bergejolak. Wilayah yang relatif tenang di awal konflik Suriah ini kini menjadi saksi bisu pertumpahan darah dan intrik geopolitik yang kompleks. Konflik internal antara milisi lokal dan elemen-elemen bersenjata lainnya, ditambah dengan campur tangan eksternal, telah menciptakan dinamika yang mengkhawatirkan. Di tengah pusaran ini, muncul nama "milisi Al-Hajri," sebuah entitas yang perannya semakin disorot, terutama terkait dengan ambisi kekuatan regional, Israel.
‎Dalam upaya memancing emosi orang Arab di Suriah, milisi ini merekam aksi brutal membantai warga Arab dan menculik anak-anak dari perkampungan Arab, dan mempublikasikan secara online.
‎Memahami siapa "milisi Al-Hajri" memerlukan penelusuran lebih dalam. Kelompok ini secara luas diasosiasikan dengan komunitas Druze di Sweida, yang menjadi penduduk minoritas tapi punya kekuatan besar dalam politik Suriah, bahkan sejak era Bashar Al Assad.
‎Mereka bukanlah entitas terorganisirz namun mempunyai kaitan dengan jaringan intelijen luar. Mereka terdiri dari unit-unit pertahanan diri lokal atau kelompok bersenjata yang loyal kepada pemimpin spiritual dan komunitas mereka. Identitas mereka seringkali terjalin erat dengan kepentingan perlindungan diri dan penegasan otonomi di tengah kekacauan Suriah.
‎Druze tak ingin dianggap sama dengan warga Suriah lainnya, mereka ingin diistimewakan dalam sistem federalisme yang juga sedang dituntutnoleh kelompok Kurdi SDF Suriah.
‎Pusat gravitasi spiritual dan politik Druze di Sweida adalah Sheikh Hikmat al-Hajri, salah satu dari tiga pemimpin spiritual tertinggi Druze di Suriah dan dulu dekat dengan rejim Bashar Al Assad. Sheikh al-Hajri dikenal karena sikapnya yang tegas dan blak-blakan. Berbeda dengan beberapa tokoh agama lain yang memilih kompromi, ia secara konsisten menyuarakan kritik tajam terhadap Damaskus yang dipimpin Presiden Al Sharaa, bahkan secara terbuka melabeli pemerintah Damaskus sebagai "pemerintahan ekstremis." 
‎Postur anti-Damaskus ini memberikan legitimasi moral bagi perlawanan lokal.
‎Hubungan yang tegang antara Sheikh Hikmat al-Hajri dan pusat telah menjadi faktor kunci dalam dinamika Sweida. Keinginan Druze untuk diistimewakan dari warga Suriah yang lain mendorong pembentukan milisi internal.
‎Milisi-milisi yang berafiliasi dengan Sheikh al-Hajri atau yang loyal kepada prinsip-prinsipnya seringkali menjadi garis depan pertahanan komunitas Druze, menolak intervensi pasukan pro-pemerintah dalam upaya Druze memperkuat hegemoni terhadap warga Arab sekitar.
‎Namun, gejolak di Sweida bukanlah sekadar konflik lokal. Israel, sebagai pemain kunci di Timur Tengah, memiliki kepentingan strategis yang mendalam di Suriah, khususnya terkait dengan komunitas Druze, dan itu terkait proyek kolonialisme baru Greater Israel. Dengan populasi Druze yang signifikan di Dataran Tinggi Golan dan dalam angkatan bersenjata Israel, Tel Aviv secara terbuka menyatakan komitmennya untuk mendukung agenda "saudara-saudara" Druzenya di Suriah.
‎Pernyataan ini bukan sekadar retorika; Israel telah melakukan serangan udara ke wilayah Suriah, termasuk di dekat Damaskus dan bahkan di Sweida, dengan dalih melindungi komunitas Druze dari ancaman. Banyak tentara Suriah tewas karena berupaya mendamaikan konflik Druze dengan warga Arab.
‎Dalam konteks inilah, peran milisi Al-Hajri dapat dilihat sebagai alat yang tidak disengaja atau disengaja untuk menciptakan kondisi yang diinginkan oleh Israel. Dengan mendukung atau setidaknya membiarkan milisi Druze mempertahankan hegemoni mereka dan menentang Damaskus, Israel secara efektif menciptakan kantong-kantong perlawanan internal di dalam Suriah.
‎Keberadaan milisi yang tidak tunduk pada kontrol pusat Damaskus menciptakan fragmentasi kekuasaan, melemahkan kendali pusat, dan mengganggu upaya Damaskus untuk menyatukan kembali wilayah Suriah dalam satu pemerintahan.
‎Strategi Israel adalah menjaga Suriah tetap terpecah belah dan tidak stabil, sehingga secara perlahan tunduk pada ambisi regional Tel Aviv. Dengan membiarkan konflik internal terus berkobar di Sweida, Israel secara tidak langsung mendorong Damaskus untuk mengalokasikan sumber daya dan perhatian pada masalah domestik, alih-alih memfokuskannya pada perbatasan atau berupaya membebaskan Dataran Tinggi Golan yang telah lama dikuasai Israel secara tidak sah. 
‎Milisi Al-Hajri, dalam perannya sebagai penentang pusat dan berkedok pelindung komunitas Druze, secara efektif menjadi aktor yang berkontribusi pada strategi "cipta kondisi" ini. Meski begitu sebagian besar warga Druze tetap mendukung Damaskus dan menolak intervensi Israel.
‎Pemberitaan mengenai kekerasan "milisi Al-Hajri" terhadap Badui, misalnya, meskipun tragis dalam dirinya, juga bisa berfungsi untuk memperkeruh situasi dan mencegah konsolidasi kekuasaan Damaskus. 
‎Semakin banyak faksi yang bertikai di Suriah, semakin sulit bagi Damaskus untuk menegakkan kontrol penuh dan stabil di seluruh wilayah. Ini sesuai dengan kepentingan Israel untuk menjaga Suriah tetap dalam keadaan kacau balau namun tidak sepenuhnya kolaps, sebuah "kacau balau yang terkendali."
‎Selain itu, posisi geografis Sweida yang dekat dengan perbatasan Yordania dan Israel menjadikannya koridor strategis. Jika wilayah ini berada di bawah kendali penuh Damaskus dan sekutunya, itu akan membuat Suriah tak mudah diobrak-abrik Israel.
‎Oleh karena itu, keberadaan milisi Druze yang mandiri dan bisa mengacaukan wibawa Damaskus di Sweida berfungsi sebagai penyangga alami, memperumit upaya Kementerian Pertahanan untuk mengkonsolidasikan pengaruh mereka di selatan Suriah.
‎Meskipun tidak ada pengumuman terbuka mengenai koordinasi operasional antara Israel dan "milisi Al-Hajri," dukungan politik dan moral Israel kepada komunitas Druze di Suriah adalah fakta yang terdokumentasi. 
‎Pernyataan publik Israel mengenai perlindungan Druze, disertai dengan tindakan militer selektif di Suriah, memberikan sinyal yang jelas bahwa Tel Aviv memiliki kepentingan untuk mendukung ketidakstabilan ini, bahkan jika itu berarti melemahkan kedaulatan Damaskus dan dikecam negara Arab dan PBB.
‎Dengan demikian, milisi Al-Hajri, meski motif utamanya adalah menuntut keistimewaan dan memperkuat hegemoni terhadap warga Arab, secara tidak langsung menjadi bagian dari permainan geopolitik yang lebih besar.
‎Mereka menjadi pion, atau setidaknya alat, dalam strategi Israel untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kekacauan terkendali di Suriah, yang pada akhirnya bertujuan untuk melemahkan pemerintahan Damaskus dan menghambat agenda pihak yang dianggap tidak memihak kepada Israel di wilayah tersebut.
‎Fenomena ini adalah contoh nyata bagaimana konflik lokal dapat diperalat oleh kekuatan regional untuk mencapai tujuan strategis mereka. Gejolak di Sweida, yang dipicu oleh ketegangan komunal dan keangkuhan sukuisme Druze, kini telah terjalin dengan narasi yang lebih besar tentang keamanan regional dan persaingan kekuasaan. 
‎Milisi Al-Hajri, dengan perannya sebagai penantang Damaskus, telah menjadi simbol dari kompleksitas dan bahaya intervensi eksternal dalam konflik internal.
‎Masa depan Sweida dan peran milisi Al-Hajri akan sangat bergantung pada dinamika yang terus berubah di Suriah dan di kawasan yang lebih luas. Selama pemerintah Suriah tetap berupaya menegakkan kontrol penuh dan selama Israel melihat kepentingan keamanannya terancam oleh kedamaian di Suriah, milisi-milisi lokal seperti Al-Hajri kemungkinan akan terus memainkan peran penting, baik secara sadar maupun tidak, dalam menjaga keseimbangan kekuatan yang rentan di Suriah. Sebuah keseimbangan yang, bagi Damaskus, adalah gangguan; namun bagi Israel, mungkin adalah strategi.

Jejak Tabut Barus dan Aceh yang Terhapus Waktu

Juli 07, 2025

Di pesisir barat Sumatra, kota Barus sejak lama dikenal sebagai pelabuhan tua yang menjadi pintu masuk awal Islam ke Nusantara. Selain jejak makam kuno dan jalur rempah, Barus juga menyimpan riwayat perayaan Asyura yang dulu hidup di tengah masyarakat. Tradisi itu dikenal sebagai Tabut, yakni peringatan kematian Sayyidina Husain bin Ali di Karbala, yang dibawa oleh para perantau dari Persia, Gujarat, dan India ke pelabuhan-pelabuhan Islam di Sumatra.

Denys Lombard dan Anthony Reid sama-sama mencatat bahwa selain di Aceh dan Pariaman, jejak peringatan Asyura juga pernah ada di Barus. Tradisi itu diadakan dalam bentuk arak-arakan keranda simbolis dan pesta rakyat setiap tanggal 10 Muharram. Seiring waktu, ritual tersebut bercampur dengan adat setempat dan berubah menjadi acara tahunan tanpa narasi keagamaan yang ketat. Meski begitu, nilai asal-usulnya tetap dipahami masyarakat tua sebagai bagian dari peringatan sejarah peristiwa Karbala.

Meski di Aceh dan Pariaman nama Tabut masih sempat bertahan hingga abad ke-19, di Barus tradisi itu mulai meredup lebih awal. Diperkirakan, pengaruh pemahaman Islam arusutama yang makin kuat di wilayah Sumatra dan Tapanuli membuat ruang gerak tradisi seperti Tabut makin terbatas. Beberapa sumber menyebut bahwa ritual Tabut di Barus masih tersisa secara sederhana dalam bentuk pesta Muharram hingga dekade 1970-an.

Tradisi ini mulanya tidak sepenuhnya menghilang. Di beberapa desa sekitar Barus, ritual mirip Tabut tetap dilakukan secara tidak resmi dalam bentuk arak-arakan kecil, permainan rakyat, dan simbol keranda tanpa menyebutkan unsur-unsur teologisnya. Acara ini lambat laun dipandang sebagai bagian dari budaya masyarakat pesisir, bukan sebagai ritual agama tertentu. Namun, situasi sosial-politik Indonesia yang makin ketat terhadap ragam ekspresi keagamaan pasca kemerdekaan membuat tradisi ini pelan-pelan terhapus.

Peristiwa Revolusi Iran tahun 1979 menjadi salah satu momentum penting yang mempercepat hilangnya tradisi Tabut di Barus. Ketika peristiwa itu mengguncang dunia Islam, kekhawatiran terhadap segala bentuk perayaan yang berbau Asyura menjadi tinggi di berbagai wilayah. Pemerintah saat itu makin sensitif terhadap aktivitas keagamaan non-arusutama yang dianggap bisa menimbulkan keramaian atau dicurigai bermuatan politik.

Di Aceh sendiri, tradisi Tabut lebih dulu mengalami penolakan resmi menjelang akhir abad ke-19. Selain karena tekanan kolonial Belanda yang khawatir terhadap potensi kerumunan massa, para pemuka agama di wilayah itu juga mulai mempersempit ruang ritual tersebut. Akibatnya, perayaan Tabut di Aceh lenyap jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, dan jejaknya kini hanya tinggal dalam catatan-catatan sejarah.

Tradisi Muharram di Aceh tak jauh berbeda dengan daerah lain. Aboebakar Atjeh dalam bukunya berjudul "Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia" (Solo Ramadhani, 1985) menyebut di Kampung Kedah, Aceh , orang sering melaksanakan perayaan tabut Hasan Husein pada setiap tahun. Perayaan diadakan di Kutaraja.

‎Adalah Tuanku Raja Keumala, keluarga India yang memainkan peranan penting dalam upacara Tabut Hasan Husein di Kampung Kedah, sebagai penghormatan atas kejadian yang sedih di Karbala, masyarakat memasak bubur yang bercampur buah-buahan dan dibagikan kepada orang yang melewati jalan.

‎"Kini perayaan Tabut Hasan Husein sudah terhapus di beberapa daerah di Sumatera," tulisnua.

‎Siti Maryam dalam disertasinya berjudul "Tradisi Syiah dalam Komunitas Ahlusunah Waljamaah Indonesia" (pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009) menyebut di Aceh, untuk memperingati bulan Asyura masyarakat membuat Kanji Asyura yang terbuat dari beras, susu, kelapa, gula, buah-buahan, kacang tanah, pepaya, delima, pisang dan akar-akaran.

Di Barus atau sekitarnya, karena wilayahnya dikenal lebih kosmopolit dan terbuka terhadap pengaruh luar, tradisi Tabut sempat bertahan lebih lama, setidaknya hingga dekade 70-an. Beberapa warga tua Barus bahkan masih ingat arak-arakan kecil di kampung mereka saat Muharram, meski tanpa lagi menyebutkan unsur peristiwa Karbala secara terang. Perayaan itu akhirnya dihentikan sepenuhnya setelah kondisi politik nasional makin ketat pada awal 1980-an.

Yang menarik, para sejarawan lokal menyayangkan minimnya dokumentasi tentang keberadaan Tabut di Barus. Berbeda dengan di Pariaman yang masih mempertahankan Tabuik sebagai festival budaya, di Barus tradisi itu benar-benar lenyap tanpa sempat dicatat secara utuh. Padahal, menurut catatan Denys Lombard dan Anthony Reid, jejak peringatan Asyura di Barus sama tuanya dengan di Aceh dan Pariaman.

Sebagian masyarakat tua sekitar Barus masih menyimpan ingatan tentang perayaan tersebut. Beberapa mengenang saat mereka kecil melihat orang tua membuat keranda dari kayu ringan, dihias sederhana, dan diarak keliling kampung saat Muharram. Walau tidak menyebut nama Tabut, masyarakat tetap tahu bahwa perayaan itu bagian dari tradisi lama memperingati wafatnya Husain.

Hilangnya tradisi Tabut dari Barus sekaligus menjadi potret kecil bagaimana tradisi keagamaan bisa tergerus oleh perubahan politik, tekanan sosial, dan dominasi pemahaman keagamaan arusutama. Tradisi yang awalnya hidup sebagai bagian dari ekspresi keimanan dan sejarah umat, perlahan dikikis oleh sistem kekuasaan yang lebih ketat terhadap keragaman praktik ibadah.

Di Barus, setelah tradisi Tabut hilang, tidak ada lagi perayaan Muharram yang bersifat arak-arakan atau prosesi simbolik. Peringatan 10 Muharram hanya dilakukan dalam bentuk zikir dan doa bersama di masjid. Sementara sisa-sisa cerita tentang keranda kayu yang pernah diarak kini hanya tinggal dalam ingatan beberapa orang tua, tanpa generasi penerus yang bisa merawat kisah itu.

Pergeseran ini tidak lepas dari ketegangan global pasca Revolusi Iran yang membuat berbagai wilayah di dunia Islam menjadi lebih waspada terhadap bentuk-bentuk perayaan Asyura. Pemerintah Indonesia, melalui kebijakan keagamaan nasional saat Orde Baru, juga lebih ketat mengatur aktivitas keagamaan rakyat di luar praktik resmi yang diakui negara.

Kini, sejarah Tabut di Barus hanya bisa ditelusuri melalui catatan-catatan terserak dan cerita lisan. Tidak ada festival budaya ataupun museum lokal yang menyimpan kenangan tentang perayaan itu. Bahkan di buku pelajaran sejarah Nusantara sekalipun, nama Barus lebih sering dikaitkan dengan perdagangan kapur barus dan penyebaran awal Islam, tanpa menyentuh soal keberagaman ekspresi keagamaannya.

Padahal, Barus dulu adalah pelabuhan kosmopolit di mana berbagai madzhab dan tradisi Islam pernah hidup berdampingan. Peringatan Asyura dengan Tabut menjadi bukti nyata bahwa Sumatra pernah memiliki keberagaman ritual yang lebih kaya sebelum terkikis oleh arus pemahaman tunggal. Kehilangan tradisi ini membuat potongan penting sejarah keberagaman Islam Nusantara semakin kabur.

Hingga kini, belum ada upaya akademik maupun budaya serius untuk menelusuri kembali jejak tradisi Tabut di Barus. Padahal, kisah itu bukan sekadar soal ritual, melainkan tentang perjalanan panjang interaksi budaya dan agama di pesisir barat Sumatra. Jika tidak dicatat, potongan sejarah itu bisa benar-benar hilang dari ingatan generasi mendatang.


Kesultanan Darfur dan Peran Suku Zaghawa

Juli 05, 2025

Kesultanan Darfur adalah salah satu kerajaan bersejarah di Afrika yang berdiri pada awal abad ke-17. Didirikan sekitar tahun 1603 oleh Sultan Sulayman Solong dari suku Fur, kesultanan ini berkembang menjadi kekuatan regional yang signifikan di wilayah Afrika Barat Laut, khususnya di wilayah yang kini masuk Sudan barat. Kesultanan ini menjadi pusat pemerintahan, kebudayaan, dan perdagangan yang menghubungkan berbagai kelompok etnis dan kerajaan di sekitar Sahara dan Sahel.

Selama hampir tiga abad, Kesultanan Darfur menguasai wilayah yang luas dan memainkan peranan penting dalam menjaga stabilitas politik dan ekonomi di kawasan itu. Jalur perdagangan lintas gurun Sahara yang melewati Darfur menjadi vital bagi perkembangan kesultanan. Berbagai komoditas seperti emas, garam, dan hasil pertanian diperdagangkan dengan kerajaan lain di sekitarnya, membuat Darfur menjadi titik penting dalam jaringan perdagangan regional.

Dalam struktur sosial dan politik kesultanan, suku Fur memegang posisi dominan sebagai pendiri dan penguasa utama. Namun, kesultanan ini juga merupakan rumah bagi beragam kelompok etnis lainnya yang mendiami wilayah tersebut, termasuk suku Zaghawa, yang kini menjadi suku dominan di Chad meski populasinya hanya di bawah 2 persen. Suku Zaghawa adalah kelompok etnis nomaden yang tinggal di wilayah perbatasan antara Darfur dan Chad. Keberadaan mereka telah tercatat sejak lama sebagai bagian dari mosaik etnis yang membentuk Kesultanan Darfur.

Posisi suku Zaghawa dalam Kesultanan Darfur cukup unik. Mereka dikenal sebagai komunitas yang mandiri dengan gaya hidup nomaden dan semi-nomaden yang bergantung pada peternakan dan perdagangan. Meskipun tidak memegang posisi politik utama dalam kesultanan, Zaghawa berperan penting dalam jaringan perdagangan dan komunikasi di wilayah tersebut. Pergerakan mereka yang luas di wilayah gurun membantu menjaga jalur perdagangan dan menjalin hubungan antar suku dan kerajaan.

Sistem pemerintahan Kesultanan Darfur tidak sepenuhnya terpusat. Meskipun Sultan Fur memegang otoritas tertinggi, banyak wilayah di dalam kesultanan dikelola secara semi-otonom oleh kepala suku dan pemimpin lokal dari berbagai suku, termasuk Zaghawa. Ini memberikan Zaghawa ruang untuk mempertahankan tradisi dan struktur sosial mereka sendiri sambil tetap menjadi bagian dari kesultanan yang lebih besar.

Dalam periode kejayaannya, Kesultanan Darfur juga dikenal karena toleransi beragama dan kebudayaan yang beragam. Islam menjadi agama resmi kesultanan, namun praktik keagamaan dan adat istiadat lokal dari berbagai suku, termasuk Zaghawa, tetap dihormati. Hubungan antara suku Fur dan Zaghawa meskipun terkadang penuh ketegangan, pada umumnya berlangsung dalam kerangka kerja sama yang pragmatis untuk keuntungan bersama.

Seiring waktu, konflik antar suku dan tekanan dari kekuatan eksternal mulai mempengaruhi kestabilan Kesultanan Darfur. Wilayah perbatasan yang dihuni suku Zaghawa sering menjadi arena persaingan dan konflik, terutama terkait penguasaan sumber daya dan jalur perdagangan. Namun, suku Zaghawa mampu mempertahankan identitas dan peran penting mereka meski berada dalam dinamika politik yang kompleks.

Ketika masa kolonial mulai memasuki Afrika, Kesultanan Darfur menghadapi tantangan baru yang mengubah tatanan politik regional. Penjajahan Inggris dan Mesir pada awal abad ke-20 mengakhiri kedaulatan Kesultanan Darfur. Meskipun demikian, pengaruh dan warisan kesultanan tetap melekat dalam struktur sosial dan budaya masyarakat di wilayah itu.

Suku Zaghawa juga mengalami perubahan signifikan selama periode kolonial. Mereka tetap mempertahankan gaya hidup nomaden, namun hubungan politik dan ekonomi dengan kekuatan kolonial mulai membentuk ulang posisi mereka dalam konteks baru. Banyak tokoh Zaghawa kemudian terlibat dalam pergerakan politik dan konflik yang membentuk sejarah modern Chad dan Sudan.

Setelah kemerdekaan Sudan dan Chad, suku Zaghawa menjadi salah satu kelompok etnis yang berperan penting dalam politik nasional kedua negara. Dalam sejarah modern, mereka dikenal sebagai kelompok yang cukup berpengaruh, terutama melalui tokoh-tokoh militer dan politik yang berasal dari suku ini. Pengalaman mereka sebagai bagian dari Kesultanan Darfur menjadi bagian dari identitas kolektif mereka dalam memperjuangkan hak dan posisi di negara masing-masing.

Warisan Kesultanan Darfur juga tercermin dalam struktur sosial dan adat istiadat suku Zaghawa. Meskipun tidak pernah menjadi penguasa utama dalam kesultanan, interaksi dan hubungan historis mereka dengan kerajaan Fur membentuk tradisi kepemimpinan dan jaringan sosial yang kuat. Hal ini membantu Zaghawa bertahan dan berkembang di tengah tantangan lingkungan dan politik.

Dalam konteks kontemporer, hubungan antara suku Zaghawa dan wilayah Darfur tetap relevan. Konflik dan ketegangan di Darfur pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 menunjukkan betapa pentingnya sejarah bersama ini dalam memahami dinamika sosial dan politik di kawasan tersebut. Zaghawa tetap menjadi aktor utama dalam upaya perdamaian dan rekonsiliasi di wilayah yang pernah menjadi bagian Kesultanan Darfur.

Penelitian sejarah dan antropologi tentang Kesultanan Darfur dan suku Zaghawa terus berkembang, membuka wawasan baru tentang kompleksitas hubungan antar suku dan kerajaan di Afrika Utara. Pemahaman ini penting untuk menghargai keberagaman budaya dan politik yang membentuk sejarah dan masa depan wilayah tersebut.

Kesultanan Darfur dan posisi suku Zaghawa di dalamnya merupakan contoh bagaimana kekuatan politik dan budaya bisa saling berinteraksi dalam konteks wilayah yang beragam. Meski Zaghawa bukan penguasa utama, peran mereka dalam ekonomi, sosial, dan militer menjadikan mereka bagian integral dari sejarah kesultanan ini.

Warisan Kesultanan Darfur memberikan pelajaran tentang pentingnya kerjasama antar suku dalam menghadapi tantangan bersama. Hubungan antara suku Fur dan Zaghawa menunjukkan bahwa identitas etnis tidak selalu menjadi penghalang bagi kerjasama politik dan ekonomi.

Dalam menghadapi tantangan modern, seperti perubahan iklim dan konflik politik, warisan sejarah Kesultanan Darfur dan peran suku Zaghawa dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun solidaritas dan perdamaian di wilayah tersebut.

Penting untuk terus menggali dan memahami sejarah bersama ini agar generasi mendatang dapat belajar dari pengalaman masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik bagi semua kelompok etnis di Darfur dan sekitarnya.

Kesultanan Darfur dan suku Zaghawa tetap menjadi bagian penting dari mozaik sejarah Afrika Utara yang kaya dan penuh warna. Keberadaan mereka menunjukkan bagaimana sejarah lokal dapat memberikan wawasan penting tentang dinamika regional yang lebih luas.

Dengan memahami hubungan historis antara Kesultanan Darfur dan suku Zaghawa, kita dapat lebih menghargai kompleksitas identitas dan politik di kawasan Sahel dan Sahara yang sering kali disederhanakan dalam narasi global.

Kesultanan Darfur dan peran suku Zaghawa dalam sejarahnya mengingatkan kita bahwa politik dan budaya selalu saling terkait, dan bahwa kekuatan lokal dapat membentuk jalannya sejarah regional secara signifikan.

Pemahaman ini juga membuka peluang untuk dialog dan rekonsiliasi di masa depan, dengan dasar penghormatan terhadap sejarah dan keberagaman yang telah terjalin selama berabad-abad.

Kesultanan Darfur dan suku Zaghawa bukan hanya kisah masa lalu, tetapi bagian hidup yang terus berkembang dalam kehidupan sosial dan politik Afrika Utara hingga hari ini.

Tranen van Kinderen Samosir, Madrasah Gesloten, Droom van Koranles Vervliegt

April 15, 2025
Een grauwe middag onder de bewolkte hemel van Samosir, die de restanten van een regenbui met zich meedroeg. Een jongen genaamd Butet Sitorus zat ineengedoken, een versleten Iqra'-boek stevig in zijn armen geklemd – een stille getuige van strijd en hoop. Zijn blik was leeg, gericht op het Madrasah-gebouw, dat nu strak omhuld was door een koude ijzeren ketting. Zelfs het naambord van de Madrasah Ibtidaiyah, dat ooit de leergierigheid symboliseerde, lag hulpeloos op de grond, alsof het de pijn meevoelde.

Butet was niet alleen in zijn verdriet. Om hem heen stonden zijn kameraden, jonge medeleerlingen van de Madrasah. Kleine kinderen, die net begonnen waren de Schepper te leren kennen door het reciteren van heilige Koranverzen, vergoten in stilte tranen voor hun school aan de Jalan Tanah Lapang Pangururan, Samosir. Een sfeer van wanhoop hing boven de plek, die eigenlijk een bron van kennis en zegeningen had moeten zijn.

De kleine handjes, die zich anders devoot ten gebede hieven, omklemden nu de leegte. Over hun onschuldige wangen biggelden geruisloos tranen, een uiting van teleurstelling en verlies. Het waren geen fysieke wonden die ze voelden, maar diepe zielepijn, omdat hun hoop de Koran te leren en de leringen van de islam te verdiepen langzaam maar pijnlijk was weggenomen.

De hartverscheurende gebeurtenis had plaatsgevonden op donderdag 10 april 2025. Maar lang voor die dag hadden de leerlingen van de Madrasah Ibnu Sina Samosir al onzekerheid en moeilijkheden ervaren in hun streven naar kennis. Sinds het begin van de heilige maand Ramadan tot 10 april waren 26 leerlingen van de Raudhatul Athfal (kleuterklas), 55 leerlingen van de Madrasah Ibtidaiyah (basisschool) en 3 RA-leraren en 12 MI-leraren gedwongen hun lessen te verplaatsen naar het kantoor voor religieuze zaken (KUA) Pangururan – een noodoplossing die verre van ideaal was.

De Madrasah Ibnu Sina Samosir, een plek die voor de kinderen in het district Samosir een tweede thuis had moeten zijn om de Arabische letters en edele morele waarden te leren kennen, stond nu op het punt haar plaats te verliezen. Sinds half januari 2025 had de eigenaar van het huurhuis waar de Madrasah was gevestigd eenzijdig zijn intentie kenbaar gemaakt het huurcontract te beëindigen. Ironisch genoeg gold het huurrecht volgens de officiële overeenkomst nog tot februari 2026.

Toen de stichting van de Madrasah Ibnu Sina Samosir deze eenzijdige en duidelijke contractbreuk weigerde, begon een periode van willekeurige behandeling.

Bedreigingen, psychologische druk en verschillende vormen van onrechtvaardigheid werden onderdeel van het dagelijks leven van degenen die slechts één nobel doel voor ogen hadden: een fatsoenlijke plek voor religieus onderwijs bieden aan de moslimkinderen die op het prachtige maar uitdagende eiland Samosir een minderheid vormen.

Ook de inspanningen om een eigen Madrasah-gebouw te bouwen waren niet zonder strijd en offers verlopen. Sinds 5 oktober 2021 had de stichting Ibnu Sina Samosir een aanvraag voor een bouwvergunning (IMB) ingediend bij de regent van Samosir. Ze hadden ook een woonplaatsverklaring van het hoofd van het dorp Sait Nihuta verkregen als een van de administratieve vereisten.

Maar de hoop op een eigen Madrasah-gebouw vervloog abrupt op 13 oktober 2021. Hun aanvraag voor een bouwvergunning werd zonder duidelijke en bevredigende reden afgewezen. Als een te hoge muur die onmogelijk te beklimmen was, leek de bureaucratie alle wegen te versperren voor degenen die slechts een heilige plek voor het onderwijs van de kinderen van de natie, in het bijzonder de moslimjeugd in Samosir, wilden oprichten.

De regionale overheid van Samosir nam vervolgens het initiatief een bijeenkomst te organiseren waarbij verschillende betrokken partijen aanwezig waren, van vertegenwoordigers van het ministerie van Religieuze Zaken tot lokale notabelen en dorpshoofden. Tijdens deze bijeenkomst werd de uiteindelijke beslissing over het lot van de Madrasah overgelaten aan de mechanismen van de traditie en de lokale wijsheid, waarvan men aannam dat die de kwestie op een wijze manier zouden oplossen.

Maar de voorwaarde die vervolgens werd gesteld voelde zo zwaar en hartverscheurend aan. De stichting van de Madrasah Ibnu Sina Samosir werd gevraagd om elk afzonderlijk lid van de gemeenschap en elk dorpshoofd thuis te bezoeken. Een stap die met veel geduld en hoop was gezet, maar de oogst was slechts het afschuiven van verantwoordelijkheid en een houding van elkaar ontwijken, alsof niemand bereid was een beslissing te nemen of een concrete oplossing te bieden voor het lot van de kinderen van Samosir.

Nu hangt de hoop van de kinderen van Samosir, die de Koran willen leren en de leringen van de islam willen verdiepen, aan een zijden draad. De helpende hand van verschillende partijen is nodig om hun Madrasah te redden. Daarom wordt de regionale overheid van Samosir dringend verzocht concrete actie te ondernemen en de beste oplossing voor de Madrasah Ibnu Sina Samosir te zoeken.

Eveneens wordt de gouverneur van Noord-Sumatra verzocht bijzondere aandacht aan deze kwestie te besteden en te helpen bij het vinden van een rechtvaardige en duurzame uitweg. Er wordt geloofd dat onderwijs het recht is van elk kind van de natie, zonder uitzondering.

Niet te vergeten wordt ook een beroep gedaan op het hart van de heer Prabowo Subianto, als een leider die de opvoeding van de kinderen van Indonesië ter harte neemt, om deel te nemen aan de redding van de Madrasah Ibnu Sina Samosir. Er wordt gehoopt dat de Madrasah kan worden geholpen via het volksschoolprogramma of andere relevante alternatieve onderwijsprogramma's.

Er bestaat de overtuiging dat de Madrasah Ibnu Sina Samosir door de samenwerking en steun van alle partijen weer stevig op haar benen kan staan en een veilige en aangename plek kan worden voor de kinderen van Samosir om te leren en zich te ontwikkelen. Er wordt gehoopt dat de tranen van de kinderen van Samosir spoedig zullen plaatsmaken voor een vrolijke glimlach en een brandend verlangen om te leren.

De lokale regionale overheid wordt dringend verzocht onmiddellijk actie te ondernemen om een oplossing voor dit probleem te vinden. Hulp en steun zijn dringend nodig, zodat het onderwijs in de Madrasah weer normaal kan worden hervat. Het lot van tientallen leerlingen en een dozijn leraren ligt nu in de handen van de beleidsmakers.

De gouverneur van Noord-Sumatra speelt een belangrijke rol bij de oplossing van deze kwestie. Er wordt verwacht dat ingrijpen op provinciaal niveau het proces van het vinden van een oplossing zal versnellen en de kinderen in Samosir een zekere onderwijstoekomst zal bieden. Beleidsmatige en financiële steun zouden mogelijke uitwegen kunnen zijn.

Het volksschoolprogramma of andere alternatieve onderwijsprogramma's die door de centrale overheid zijn geïnitieerd, kunnen ook hoop bieden voor het voortbestaan van de Madrasah Ibnu Sina Samosir. Synergie tussen de regionale, provinciale en centrale overheid is in een dergelijke situatie essentieel.

De zorg en aandacht van nationale figuren zoals de heer Prabowo Subianto zullen hopelijk een positieve impact hebben en een snelle oplossing voor de problemen van de Madrasah in Samosir versnellen. Morele en mogelijk ook materiële steun kunnen een lichtpunt zijn voor het voortbestaan van het religieus onderwijs voor de kinderen op het eiland.

De toekomst van het religieus onderwijs voor tientallen kinderen in Samosir hangt nu af van de snelle en adequate reactie van de regionale, provinciale en centrale overheid. Wijze beslissingen die de belangen van de kinderen van de natie vooropstellen, worden dringend verwacht.

De leergierigheid van de kinderen van Samosir mag niet doven alleen vanwege bureaucratische hindernissen en kortetermijnbelangen. De helpende hand en concrete oplossingen van de leiders zijn dringend nodig om hun dromen van fatsoenlijk onderwijs weer werkelijkheid te laten worden.

Prospek 212 Mart di Era Prabowo: Peluang dan Inovasi yang Tak Boleh Berhenti

Maret 22, 2025
Era pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto membuka lembaran baru bagi berbagai sektor ekonomi di Indonesia, termasuk ritel. Di tengah dinamika ini, 212 Mart, sebagai jaringan minimarket yang memiliki ciri khas tersendiri, memiliki peluang besar untuk berkembang. Namun, untuk meraih kesuksesan, inovasi adalah kunci utama.

212 Mart, yang lahir dari semangat ekonomi keumatan, telah membuktikan eksistensinya di tengah persaingan ketat industri ritel. Dengan fokus pada produk halal dan berkualitas, serta semangat gotong royong, 212 Mart memiliki basis konsumen yang loyal. Namun, seiring perkembangan zaman, tuntutan konsumen semakin beragam dan dinamis.

Di era digital ini, konsumen menginginkan kemudahan, kecepatan, dan kenyamanan dalam berbelanja. Oleh karena itu, 212 Mart tidak bisa hanya mengandalkan model bisnis konvensional. Mereka perlu beradaptasi dengan tren teknologi dan menghadirkan layanan yang relevan dengan kebutuhan konsumen masa kini.

Salah satu inovasi yang mendesak adalah pengembangan layanan pengiriman, seperti GoSend atau layanan ojek online serta lainnya. Dengan layanan ini, konsumen dapat berbelanja dari rumah atau kantor dan menerima pesanan dalam waktu singkat. Layanan ini akan sangat membantu konsumen yang sibuk atau memiliki keterbatasan waktu.

Selain itu, 212 Mart juga perlu mengembangkan fitur-fitur digital lainnya, seperti aplikasi mobile yang memudahkan konsumen untuk berbelanja, melihat promo, atau mencari informasi produk.

Fitur pembayaran digital juga perlu diintegrasikan untuk memberikan kemudahan dan keamanan dalam bertransaksi.

Peluang lain yang bisa dimanfaatkan adalah pengembangan layanan keuangan digital, seperti Laku Pandai. Dengan memanfaatkan jaringan minimarket yang luas, 212 Mart dapat menjadi agen layanan keuangan yang menjangkau masyarakat hingga ke pelosok daerah.
Selain itu, 212 Mart juga bisa memperluas jangkauan produknya dengan menggandeng UMKM lokal. Dengan demikian, 212 Mart tidak hanya menjadi tempat berbelanja, tetapi juga menjadi wadah bagi UMKM untuk memasarkan produk mereka.

Dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat, 212 Mart juga perlu meningkatkan kualitas layanan dan pengalaman berbelanja konsumen. Pelatihan karyawan, penataan toko yang menarik, dan program loyalitas pelanggan adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Di era Prabowo, pemerintah berkomitmen untuk mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan. Hal ini merupakan peluang besar bagi 212 Mart untuk memperkuat posisinya sebagai jaringan minimarket yang berpihak pada ekonomi umat.

Namun, dukungan pemerintah tidak akan cukup jika 212 Mart tidak berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan. Semangat gotong royong dan kebersamaan yang menjadi ciri khas 212 Mart harus diimbangi dengan profesionalisme dan kemampuan untuk membaca tren pasar.

Dengan inovasi yang tepat, 212 Mart memiliki potensi untuk menjadi salah satu pemain utama di industri ritel Indonesia.

Mereka tidak hanya bisa bersaing dengan jaringan minimarket konvensional, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi kerakyatan yang memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Oleh karena itu, 212 Mart tidak boleh berhenti berinovasi. Mereka harus terus mengembangkan layanan dan produk yang relevan dengan kebutuhan konsumen, serta memanfaatkan peluang yang ada di era pemerintahan baru. Dengan demikian, 212 Mart dapat terus tumbuh dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia.

Dengan semangat kebersamaan dan inovasi yang berkelanjutan, 212 Mart memiliki peluang besar untuk meraih kesuksesan di era pemerintahan baru. Mereka dapat menjadi contoh bagi jaringan minimarket lainnya dalam mengembangkan model bisnis yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Dibuat oleh AI
 
Copyright © Berita Borbor. Designed by OddThemes