Technology

Latest Updates

Asal Usul Marga Matondang di Mandailing

September 30, 2025

Sejarah marga-marga di Mandailing selalu menarik untuk ditelusuri karena berkaitan dengan migrasi, percampuran budaya, serta lahirnya tokoh-tokoh penting dalam perjalanan bangsa. Salah satunya adalah marga Matondang yang hingga kini masih bertahan kuat sebagai identitas sosial masyarakat Mandailing.

Sebuah video yang beredar di media sosial mengisahkan asal-usul tiga marga besar, yakni Batubara, Daulay, dan Matondang. Narasi yang dituturkan menyingkap bagaimana ketiga marga ini sesungguhnya bersumber dari leluhur yang sama. Cerita bermula dari kedatangan sekelompok orang dari Batu Bara, dekat Tanjungbalai, yang bermigrasi ke pedalaman Mandailing beberapa abad silam.

Rombongan itu dipimpin oleh dua tokoh besar, Parmato Sophia dan Datuk Piccur Ayo. Keduanya memimpin kelompok menuju Barumun, dan di sanalah mereka membuka perkampungan baru yang dinamakan Binabo, sekitar dua kilometer dari Sibuhuan saat ini. Dari titik inilah garis keturunan marga Batubara, Daulay, dan Matondang berkembang.
Dikisahkan bahwa Parmato Sophia memiliki dua putra yang kelak menjadi cikal bakal marga besar. Putra pertama bernama Silai yang menurunkan marga Daulay, sedangkan putra kedua bernama Sitondang yang menurunkan marga Matondang. Dengan demikian, marga Daulay dan Matondang dapat dikatakan masih seketurunan dengan marga Batubara.

Di sisi lain, Datuk Piccur Ayo yang merupakan saudara Parmato Sophia juga memiliki keturunan. Putranya bernama Sibaru, sementara putrinya yang terkenal akan kecantikannya disebut Boru Matondang. Dari nama inilah, sebutan Matondang semakin melekat dan akhirnya berkembang menjadi nama marga tersendiri.

Setelah Parmato Sophia wafat, makamnya di Thor Parking Kiran dipelihara dan kemudian dipugar oleh keturunannya. Dari makam inilah terjalin ikatan emosional yang kuat antara para keturunan Batubara, Daulay, dan Matondang. Tradisi ziarah serta penghormatan leluhur masih terus dilakukan hingga kini sebagai bentuk penghargaan terhadap sejarah.

Perjalanan keturunan Parmato Sophia tidak berhenti di Binabo. Silai dan Sitondang kemudian pindah ke wilayah Pintupadang. Dari sanalah garis keturunan Daulay dan Matondang berkembang lebih luas, menjadi bagian penting dari masyarakat Mandailing yang tersebar di berbagai desa dan daerah.

Sementara itu, Datuk Piccur Ayo memilih menetap di Pagaran Tonga. Namun, perselisihan internal kemudian membuat sebagian kelompok bermarga Batubara berpencar ke berbagai tempat seperti Desa Bakaran Korsik, Tanobato, Hutan Rimba Ruk, Hutapungkut, hingga Hutanagodang.

Dari persebaran itu, muncul pula banyak tokoh terkemuka. Salah satunya adalah almarhum Adam Malik, putra Hutapungkut Julu, yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Ia merupakan bukti nyata bagaimana marga-marga Batubara, Daulay, dan Matondang memberikan kontribusi besar pada sejarah nasional.

Marga Matondang sendiri dikenal dengan identitas yang melekat pada nama Sitondang, putra Parmato Sophia. Dalam perkembangannya, marga ini hidup berdampingan dengan Daulay dan Batubara, karena memang masih satu rumpun. Hubungan kekerabatan di antara ketiganya masih dijaga dengan baik hingga sekarang.

Di kalangan masyarakat Mandailing, marga Matondang dipandang sebagai salah satu marga yang punya kedudukan terhormat. Mereka dikenal memiliki peranan dalam dunia keagamaan, pemerintahan, maupun kebudayaan. Beberapa tokoh ulama dari marga ini bahkan tercatat berpengaruh pada masa awal penyebaran Islam di Mandailing.

Nama Matondang juga muncul dalam berbagai catatan sejarah lisan yang diwariskan turun-temurun. Kisah Boru Matondang yang disebut cantik rupawan menambah dimensi simbolik terhadap identitas marga ini. Sebutan itu memperkaya citra Matondang sebagai marga yang bukan sekadar garis keturunan, melainkan juga simbol keindahan dan kehormatan.

Asal usul Matondang yang erat kaitannya dengan Batubara dan Daulay menunjukkan bagaimana percampuran tradisi, migrasi, dan kekerabatan membentuk struktur sosial Mandailing. Hal ini juga menggambarkan bagaimana identitas marga di Sumatera Utara tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan sejarah panjang leluhur.

Haji Matondang disebut-sebut sebagai salah satu tokoh dari marga ini yang berperan besar dalam kehidupan keagamaan dan sosial di Singkil, Pakpak Bharat dan Dairi. Kiprahnya menegaskan posisi Matondang sebagai marga yang tak hanya berakar kuat pada sejarah, tetapi juga aktif dalam dinamika masyarakat modern.
--
Menurut Ypes, W. K. H., di tulisannya "Nota omtrent Singkel en de Pak-pak landen" pada buku "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde" ("Catatan mengenai Tanah Singkel dan Pak-pak" pada buku "Jurnal Linguistik, Geografi dan Etnologi Hindia") terbitan tahun 1907 halaman 555-642, marga Pinarik (Penarik) adalah sama dengan marga Cibero (Cibro).

Tulisan ini membahas mengenai daerah-daerah di Singkil dan Pakpak pada saat itu. Singkil dianeksasi oleh Belanda dan dijadikan enderafdeeling pada tahun 1840. Sebelumnya di Singkil ada kerajaan-kerajaan kecil yang disebut “Raja Sinambelas” (Raja 16) dan berada dibawah kekuasaan Aceh. 

Sebelum itu daerah kerajaan-kerajaan tersebut tunduk pada Kerajaan Pagaruyung, yang kemudian diberikan kepada Aceh sebagai mas kawin. Salah satu kerajaan-kerajaan kecil tersebut adalah kerajaan Surau. Di bagian mengenai Kerajaan Surau pada halaman 35-37 buku ini dikisahkan bagaimana mulainya Kerajaan Surau dan juga mulainya marga Pinarik. Pada saat buku ini ditulis, Kerajaan Surau berada di bawah pimpinan Raja Gombok dari marga Pinarik dengan gelar Raja Setia Bakti, yang karena masih di bawah umur berada di bawah perwalian wakil Selatong, dengan nama Raja Sedap. Saat ini wilayah kerajaan Surau sepertinya adalah Kecamatan Suro Makmur, Kabupaten Aceh Singkil. Para pengapit (mentri) dari Raja Gombok kebanyakan bermarga Cibero dan Pinarik (halaman 36).

Berikut kisahnya di halaman 35-37, diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia dengan bantuan Google Translate dan DeepL: 

Surau (mushalla/masjid) didirikan oleh dua orang bersaudara dari Traju (Pak-pak) yang tergabung dalam marga Cibero, Haji Matondang dan Haji Mulia. Kedua orang tersebut menetap di hulu Laé Kinabé. merupakan cabang Sungai Sulampi yang termasuk dalam kawasan Marga Buluara. Pada saat itu, marga ini sangat terganggu oleh babi pemakan manusia, yang, seperti manusia, mengenakan bergot (rantai) di lehernya (babi merantei). Suatu hari, masyarakat marga Buluara mengetahui keberadaan kedua bersaudara tersebut melalui potongan bambu yang hanyut dari Sungai Kinabé. Kepala marga Buluara kemudian mengutus orang untuk mencari mereka. Haji Matondang dan Haji Mulia kemudian dibawa ke kepala marga Buluara, kemudian ia menjanjikan putri tunggalnya Boru Saléndang kepada salah satu dari mereka yang berhasil membunuh babi merantei. Haji Matondang dan Hadji Moelia kemudian membunuh hewan tersebut dan menyelamatkan rantai bersama-sama. Ketika ditanya oleh kepala Marga Buluara siapa di antara mereka yang akan menikahi putrinya, mereka sepakat bahwa Haji Matondang yang akan menikahinya dan kalung itu akan menjadi milik Haji Mulia (Angkat?).
--+++
Kisah Matondang memperlihatkan bahwa migrasi yang dilakukan nenek moyang bukanlah sekadar perpindahan fisik, melainkan juga penciptaan identitas baru. Nama Sitondang yang berubah menjadi Matondang adalah bukti bagaimana tradisi lisan dan simbol kultural mampu mengabadikan jejak leluhur.

Hingga kini, marga Matondang tetap lestari di Mandailing dan sekitarnya. Penyebarannya yang luas membuatnya dikenal di berbagai lapisan masyarakat. Ikatan kekerabatan dengan Batubara dan Daulay masih dipertahankan melalui adat, perkawinan, dan tradisi bersama.

Sejarawan lokal menilai bahwa kisah Matondang penting dicatat agar generasi muda memahami asal-usul mereka. Dengan demikian, identitas tidak hilang ditelan zaman, melainkan terus hidup sebagai bagian dari warisan budaya.

Asal usul marga ini juga memperlihatkan betapa kaya dan beragamnya sejarah Mandailing. Dari migrasi kecil yang dipimpin Parmato Sophia dan Datuk Piccur Ayo, lahirlah komunitas besar yang kemudian menyumbangkan tokoh-tokoh nasional.

Kisah Matondang, Batubara, dan Daulay adalah kisah tentang perpindahan, kekerabatan, dan kebesaran sebuah komunitas. Ia menjadi cermin bahwa identitas marga adalah bagian tak terpisahkan dari jati diri masyarakat Mandailing.

Dengan memahami asal-usul Matondang, generasi kini diingatkan kembali bahwa mereka adalah penerus dari sejarah panjang yang penuh dinamika. Tugas berikutnya adalah menjaga warisan itu tetap hidup, sambil terus memberi kontribusi bagi bangsa dan daerah.


https://www.facebook.com/share/p/17AEAFxY1B/

https://www.facebook.com/share/p/15eg3wGQtW/

Saatnya Suriah Percepat Rekonstruksi Fasilitas Publik

September 23, 2025
Dengan berlalunya perang panjang yang meluluhlantakkan negeri, Suriah kini menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali infrastruktur dan layanan dasar bagi rakyatnya. Ribuan sekolah, jalan, jaringan listrik, hingga masjid mengalami kerusakan berat. Dalam kondisi ini, berbagai kalangan menilai sudah saatnya Suriah menerapkan kembali konsep semi wajib militer, namun kali ini difokuskan bukan untuk peperangan, melainkan bagi rekonstruksi dan pembangunan.

Selama bertahun-tahun, wajib militer di Suriah identik dengan pertempuran dan garis depan. Namun gagasan baru ini ingin mengubah wajahnya menjadi sebuah “tentara pembangunan,” yaitu generasi muda yang dikerahkan secara sistematis untuk membantu perbaikan fasilitas umum. Dengan cara ini, negara dapat mengatasi keterbatasan tenaga kerja dan mempercepat rehabilitasi yang saat ini berjalan lamban.

Kementerian Pendidikan Suriah sendiri telah mengumumkan bahwa sebanyak 531 sekolah berhasil direhabilitasi menjelang tahun ajaran 2025–2026, sementara 676 lainnya masih dalam proses renovasi. Angka itu menunjukkan adanya upaya, namun jika dibandingkan dengan sekitar 27 ribu fasilitas pendidikan yang rusak, jelas langkah tersebut masih jauh dari cukup.

Tanpa dukungan tenaga tambahan, pembangunan akan tersendat. Apalagi jika mengandalkan kontraktor swasta atau bantuan terbatas dari organisasi kemanusiaan, prosesnya bisa memakan waktu puluhan tahun. Semi wajib militer rekonstruksi dapat menjadi solusi karena melibatkan rakyat sendiri dalam menyelamatkan masa depan negaranya.

Selain tenaga dalam negeri, Suriah juga dapat membuka diri bagi partisipasi negara-negara Arab maupun Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Negara-negara yang memiliki pengalaman menangani bencana dapat mengirimkan tim rekonstruksi secara sukarela. Dengan cara ini, beban keuangan Suriah yang masih rapuh tidak akan semakin berat.

Model kerja sama semacam ini dapat diatur melalui zonasi. Misalnya, sebuah kota ditangani oleh satu negara, sementara kota lain ditangani negara berbeda. Dengan demikian, setiap kawasan akan memiliki tanggung jawab yang jelas dan koordinasi akan lebih terarah.

Fokus awal rekonstruksi mestinya diarahkan pada fasilitas vital yang menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari. Masjid, jalan, jaringan air bersih, dan listrik menjadi prioritas utama. Kehadiran tentara pembangunan dan tim sukarela internasional akan mempercepat pulihnya layanan dasar tersebut.

Negara-negara yang enggan mengirimkan tim bisa berkontribusi melalui dana bantuan. Dana tersebut tetap akan digunakan untuk proyek-proyek rekonstruksi yang jelas, sehingga transparansi dapat dijaga. Dengan demikian, semua pihak bisa ikut serta sesuai kapasitas masing-masing.

Suriah sendiri tengah menjalani tahun ajaran baru. Namun di balik itu, ribuan anak-anak masih bersekolah di bangunan rusak atau bahkan di ruang darurat. Jika semi wajib militer pembangunan diterapkan, para pemuda Suriah dapat dilibatkan langsung dalam memperbaiki ruang belajar bagi adik-adik mereka.

Konsep ini juga bisa menumbuhkan semangat kebersamaan nasional. Pemuda yang sebelumnya terbiasa dengan perintah militer untuk berperang, kini diarahkan pada tugas mulia membangun kembali negerinya. Dari situ lahir rasa bangga baru: bukan karena kemenangan di medan tempur, melainkan kemenangan dalam rekonstruksi.

Sementara itu, peran negara sahabat sangat penting. Negara-negara Arab yang kaya pengalaman dalam pembangunan cepat pascabencana, seperti Mesir dan Turki, bisa membantu dengan mengirimkan tenaga ahli. Begitu juga negara-negara anggota OKI lainnya yang memiliki sumber daya teknis.

Koordinasi lintas negara ini dapat difasilitasi melalui forum internasional, di mana setiap negara menyatakan komitmennya untuk menangani satu wilayah tertentu. Dengan model itu, rekonstruksi tidak lagi bersifat parsial, tetapi terencana secara nasional.

Pemerintah Suriah tentu harus menyiapkan payung hukum yang jelas. Semi wajib militer pembangunan harus dilandasi aturan yang melindungi hak-hak peserta, termasuk lama pengabdian, jenis tugas, dan jaminan keselamatan kerja. Hal ini penting agar program tidak dipandang sebagai eksploitasi, melainkan sebagai pengabdian negara.

Selain itu, transparansi dalam penggunaan dana bantuan internasional akan menjadi kunci keberhasilan. Suriah perlu meyakinkan dunia bahwa setiap kontribusi, baik berupa tenaga maupun uang, benar-benar digunakan untuk rehabilitasi masyarakat, bukan dialihkan ke sektor lain.

Rakyat Suriah sendiri menunjukkan semangat luar biasa untuk bangkit. Banyak warga sudah bergotong royong memperbaiki rumah, sekolah, dan masjid mereka dengan peralatan seadanya. Jika kekuatan ini dilembagakan dalam semi wajib militer, hasilnya akan jauh lebih besar dan terorganisir.

Dari perspektif politik, program ini juga bisa memperbaiki citra Suriah di mata internasional. Dunia akan melihat negeri ini bukan lagi sekadar zona konflik, melainkan contoh negara yang bangkit dengan inovasi dan solidaritas.

Lebih jauh, tentara pembangunan juga bisa menjadi sarana pendidikan keterampilan bagi pemuda. Selama masa pengabdian, mereka akan belajar teknik konstruksi, manajemen proyek, hingga disiplin kerja. Ilmu tersebut akan berguna setelah mereka kembali ke kehidupan sipil.

Dengan jumlah sekolah yang rusak mencapai puluhan ribu, jelas Suriah membutuhkan strategi luar biasa. Semi wajib militer rekonstruksi, dipadu dengan solidaritas negara Arab dan OKI, bisa menjadi jalan keluar yang realistis.

Pada akhirnya, rekonstruksi Suriah bukan hanya soal membangun kembali gedung dan jalan. Lebih dari itu, ini adalah tentang mengembalikan harapan, menata ulang kehidupan, dan menciptakan generasi baru yang lebih kuat. Tentara pembangunan adalah simbol dari tekad itu.

Kini, pilihan ada di tangan Suriah. Apakah tetap berjalan lambat dengan tenaga terbatas, atau segera melompat maju dengan melibatkan seluruh rakyat dan sahabat internasional? Sejarah akan mencatat, bahwa dari reruntuhan, Suriah memilih bangkit bersama.

OKI Perlu Utusan Khusus untuk Suriah

Kembalinya Suriah ke dalam keanggotaan penuh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) setelah 13 tahun menjadi momentum penting bagi diplomasi kawasan. Keputusan yang diinisiasi Turki dalam Sidang Luar Biasa Dewan Menteri Luar Negeri OKI di Jeddah itu menandai babak baru hubungan dunia Islam dengan Damaskus. Setelah lama terpinggirkan, kini Suriah kembali duduk di meja perwakilan, diwakili langsung oleh Menteri Luar Negeri Assad Hassan Shaibani.

Sebelumnya, keanggotaan Suriah dibekukan pada Agustus 2012 dalam KTT Luar Biasa OKI di Mekah, menyusul rekomendasi eksekutif di Jeddah, ketika kekerasan rezim Bashar al-Assad terhadap rakyatnya meningkat. Langkah itu menjadi simbol penolakan dunia Islam terhadap kebijakan represif rezim Damaskus kala itu. Namun kini, dengan adanya pemerintahan baru pasca perang dan dimulainya fase rekonstruksi, keputusan OKI untuk mengaktifkan kembali keanggotaan Suriah dinilai tepat waktu.

Momentum ini mestinya tidak berhenti pada pemulihan kursi formal Suriah di OKI. Organisasi Islam terbesar di dunia ini perlu melangkah lebih jauh dengan menugaskan utusan khusus untuk membantu proses rekonstruksi Suriah. Hal serupa pernah dilakukan OKI untuk Afghanistan pasca pergantian kekuasaan di Kabul, ketika dunia khawatir dengan transisi pemerintahan yang tidak pasti.

Jika Afghanistan mendapatkan perhatian khusus, Suriah pun seharusnya demikian. Perang berkepanjangan telah menghancurkan infrastruktur vital, termasuk sekolah, rumah sakit, jaringan listrik, dan masjid. Rakyat Suriah saat ini membutuhkan dukungan nyata agar dapat kembali menjalani kehidupan normal. Sebuah utusan khusus OKI akan menjadi simbol sekaligus sarana nyata bagi komitmen solidaritas dunia Islam.

Selain simbolis, utusan khusus juga bisa berfungsi strategis. Ia dapat menjadi jembatan komunikasi antara Damaskus dan negara-negara anggota, memfasilitasi alokasi bantuan, serta mengoordinasikan proyek rekonstruksi agar tidak tumpang tindih. Dengan cakupan kerusakan yang begitu luas, diperlukan manajemen kolektif yang hanya bisa dijalankan melalui koordinasi multilateral.

Turki yang berperan besar dalam pemulihan keanggotaan Suriah di OKI bisa menjadi motor penggerak inisiatif ini. Sebagai negara yang aktif dalam isu kemanusiaan di Suriah, Ankara memiliki kredibilitas dan pengalaman. Namun, langkah ini tentu akan lebih kuat bila diadopsi secara kolektif oleh OKI, bukan hanya oleh satu negara.

Bagi Suriah, keberadaan utusan khusus akan mempercepat datangnya bantuan yang terorganisir. Negara-negara anggota yang tidak mampu mengirimkan tenaga bisa menyumbang dana, sementara yang memiliki kapasitas teknis bisa mengirimkan tim rekonstruksi. Koordinasi melalui OKI akan memastikan bahwa kontribusi setiap negara digunakan secara efektif sesuai zonasi dan kebutuhan lokal.

Di sisi lain, langkah ini juga akan mengangkat kembali relevansi OKI di mata dunia internasional. Selama ini, banyak pihak menilai OKI hanya aktif dalam pernyataan politik tanpa langkah nyata di lapangan. Dengan menunjuk utusan khusus untuk Suriah, OKI bisa membuktikan bahwa ia mampu memainkan peran penting dalam fase pascakonflik.

Warga Suriah sendiri menanti perhatian dunia Islam. Mereka ingin melihat solidaritas nyata, bukan hanya retorika. Kehadiran utusan khusus akan membawa pesan harapan bahwa dunia Islam tidak melupakan penderitaan mereka. Setelah Afghanistan, kini giliran Suriah yang pantas menjadi prioritas.

Jika OKI serius dengan misinya sebagai wadah solidaritas umat, maka penunjukan utusan khusus untuk Suriah adalah langkah yang tak bisa ditunda lagi. Kehancuran yang ditinggalkan perang tidak akan pulih hanya dengan kata-kata. Dibutuhkan koordinasi, kerja nyata, dan kehadiran langsung. Dari sinilah, kembalinya Suriah ke OKI bisa benar-benar berarti, bukan sekadar simbol politik.

Tiga Wajah Konstruksi Bangunan di Suriah

September 15, 2025

Pemandangan kota dan desa di Suriah hari ini menghadirkan kontras yang kuat. Di satu sisi, bangunan yang runtuh akibat konflik bertahun-tahun masih berdiri dengan tiang dan dinding yang setengah hancur, menanti untuk diperbaiki. Di sisi lain, ada gedung-gedung baru yang sedang dibangun dengan semangat rekonstruksi. Namun, tidak sedikit pula proyek lama yang terbengkalai, setengah jadi dan ditinggalkan tanpa kejelasan.

Ketiga bentuk bangunan ini kini menjadi wajah nyata kehidupan masyarakat Suriah. Yang pertama adalah bangunan rusak akibat perang. Banyak di antaranya masih bisa diperbaiki karena struktur utama masih berdiri. Pemukiman, sekolah, hingga masjid menjadi bagian dari deretan bangunan yang menunggu sentuhan rekonstruksi.

Yang kedua adalah bangunan yang sudah lama tidak selesai. Beberapa bahkan mangkrak jauh sebelum konflik pecah. Ada yang merupakan proyek pemerintah, ada juga yang dimiliki pihak swasta, terutama pengembang di bidang properti. Gedung-gedung itu kini menjadi simbol stagnasi yang memanjang.

Bentuk ketiga adalah bangunan baru yang muncul dari semangat bertahan. Lembaga swadaya masyarakat mendirikan asrama untuk anak yatim dan janda. Militer membangun barak baru di sejumlah wilayah. Sementara pengembang dan investor mulai membangun kompleks hunian serta fasilitas komersial, meski dengan tantangan berat.

Ketiga jenis bangunan ini bersaing dalam satu hal yang sama: kebutuhan bahan bangunan. Permintaan tinggi membuat harga bahan melonjak tajam, terutama untuk blok beton yang menjadi material utama.

Video yang beredar dari pedesaan Damaskus menggambarkan situasi ini dengan jelas. Seorang pekerja konstruksi mengeluhkan bahwa harga blok beton naik drastis. Dari sebelumnya 3.000 lira, kini menjadi 5.000 lira per blok. Lonjakan harga ini menjadi pukulan berat bagi masyarakat.

Dampaknya, banyak orang menunda pembangunan atau renovasi rumah mereka. Rumah yang semula bisa diperbaiki dengan biaya terbatas, kini harus ditunda. Bahkan, harga rumah yang sudah selesai juga ikut melambung, memaksa sebagian besar warga beralih menyewa.

Kenaikan harga tidak hanya dirasakan oleh pemilik rumah, tetapi juga pekerja bangunan. Jika sebelumnya mereka bisa bekerja penuh dalam sepekan, kini hanya mendapat tiga hari kerja. Artinya, pendapatan mereka berkurang hampir setengah.

Biaya produksi blok beton dan bahan bangunan lain ikut naik karena harga listrik, solar, serta bea cukai yang tinggi. Semua faktor itu saling menekan hingga industri konstruksi menjadi serba mahal.

Kondisi ini menimbulkan efek domino. Saat pembangunan terhenti, pekerjaan lanjutan seperti plester, pemasangan ubin, cat, instalasi listrik, dan sanitasi juga ikut berhenti. Diperkirakan hingga 80 persen pekerjaan di sektor turunan ikut lumpuh.

Meski begitu, sisi positif tetap terlihat. Permintaan bahan bangunan yang tinggi membuka lapangan kerja baru bagi warga pedesaan. Banyak yang kini beralih membuat batu bata dan blok beton secara manual untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal.

Di desa-desa sekitar Damaskus, suara cetakan blok beton bergema sepanjang hari. Para pekerja kecil itu berupaya mengisi celah yang ditinggalkan oleh pabrik besar yang kesulitan memenuhi pasokan.

Namun, tetap saja kapasitas mereka tidak sebanding dengan tingginya permintaan. Harga tetap tinggi, sementara daya beli masyarakat semakin tertekan.

Kondisi ini juga memunculkan kesenjangan sosial. Mereka yang punya akses dana besar bisa melanjutkan pembangunan, sementara rakyat kecil harus rela hidup di bangunan setengah jadi atau rumah sewaan.

Di beberapa wilayah, proyek LSM menjadi penopang utama. Gedung-gedung baru untuk yatim piatu dan janda menjadi harapan segar, meski jumlahnya terbatas.

Investor swasta juga mulai masuk dengan proyek hunian, tetapi harga yang ditawarkan seringkali tidak terjangkau bagi kebanyakan warga.

Bangunan militer, sebaliknya, justru berkembang pesat. Barak baru dan fasilitas pertahanan menjadi prioritas, sekaligus menegaskan peran militer dalam peta konstruksi Suriah pascaperang.

Situasi ini mencerminkan dilema besar. Suriah membutuhkan pembangunan untuk pulih, tetapi biaya yang tinggi membuat prosesnya berjalan lambat.

Wajah tiga bentuk bangunan—hancur, mangkrak, dan baru—menjadi simbol perjalanan panjang negeri itu. Ia menggambarkan luka, ketidakpastian, sekaligus secercah harapan yang terus dipertahankan.

Masyarakat Suriah kini berdiri di tengah pusaran, mencoba membangun kembali kehidupannya di antara puing, gedung tak selesai, dan konstruksi baru yang terus bermunculan.

Suku-Suku Suriah dan Pengaruh Politiknya

September 13, 2025

Suriah dikenal sebagai negara dengan keragaman suku, kabilah, dan komunitas agama-sektarian yang kompleks. Mayoritas penduduknya terdiri dari Arab, dengan sekitar 30 kabilah besar yang tersebar di berbagai wilayah. Kabilah-kabilah ini memainkan peran penting dalam struktur sosial, politik, dan militer negara, terutama dalam konteks konflik dan mobilisasi massa.

Beberapa kabilah Arab paling menonjol di Suriah antara lain Al-Baqarah, Al-Aqeedat, dan Turkmen. Mereka tersebar di wilayah Damaskus, Al-Hasakah, Raqqa, Deir ez-Zor, Homs, Aleppo, Idlib, dan Hama. Keberadaan mereka membentuk jaringan sosial yang kuat, memungkinkan mobilisasi cepat jika diperlukan, baik untuk pertahanan lokal maupun konflik berskala nasional.

Kabilah Badui besar, seperti Shammar dan Anizzah, memiliki pengaruh yang signifikan di wilayah utara dan timur Suriah. Mereka dikenal dengan kemampuan mobilisasi yang cepat dan penguasaan wilayah gurun, sehingga menjadi aktor penting dalam dinamika politik dan keamanan di kawasan tersebut.

Di sisi lain, kabilah pedesaan seperti Baggara, Al-Murad, dan Al-Atrash memiliki pengaruh di Hama, Homs, dan Suwayda. Kabilah ini berfokus pada pertanian dan pedesaan, tetapi tetap menjaga kekuatan sosial yang dapat dimobilisasi dalam keadaan darurat.

Minoritas agama-sektarian seperti Alawiyah dan Druze juga Arab, namun mereka tidak dianggap bagian dari kabilah Arab tradisional. Hal ini disebabkan struktur sosial mereka yang berbasis komunitas agama dan wilayah konsentrasi tertentu, bukan jaringan kabilah luas yang tersebar di berbagai wilayah. Alawiyah dominan di Latakia, sementara Druze di Suwayda, sehingga mobilisasi mereka lebih bersifat sektarian daripada kabilah.
Perkumpulan suku-suku Suriah juga sering mengadakan pertemuan rutin, terutama di kota Suwayda. Pertemuan ini menjadi ajang koordinasi sosial dan politik antara kabilah Arab, namun minoritas Druze, meskipun hadir secara lokal, memiliki mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda dan lebih internal.

Suku Arab mayoritas yang mendukung pemerintah pusat atau milisi pro-Damaskus di era Presiden Ahmed Al Sharaa termasuk Baggara, Al-Aqeedat, dan beberapa cabang Al-Baqarah. Mereka sering menjadi basis perekrutan milisi lokal dan berperan dalam keamanan wilayah pedesaan.

Sementara itu, dukungan terhadap SDF (Syrian Democratic Forces) mayoritas berasal dari komunitas Kurdi dan beberapa suku Arab yang berada di Al-Hasakah, Raqqa, dan Deir ez-Zor. Kabilah seperti Shammar dan sebagian anggota Al-Baqarah dan Anizzah di timur laut diketahui bekerja sama dengan SDF karena kepentingan lokal dan perlindungan wilayah mereka.

Dalam konteks konflik Suriah, pengaruh suku tidak hanya soal jumlah, tetapi juga tentang jaringan sosial, sejarah mobilisasi, dan hubungan dengan kelompok politik atau militer. Ini menjelaskan mengapa kabilah Arab tetap menjadi pemain utama meski minoritas agama-sektarian Arab seperti Alawiyah dan Druze memiliki peran politik yang besar.

Tokoh Suriah terkenal juga mencerminkan afiliasi suku dan komunitas. Misalnya, Ahmed Al-Sharaa dari Daraa adalah Arab Sunni pedesaan atau sering disebut Annaza atau عنزة, sedangkan Bashar al-Assad dan keluarga Assad berasal dari Alawiyah di Latakia. Sultan al-Atrash, tokoh Druze legendaris, berpusat di Suwayda.

Sejumlah kabilah Arab pedesaan dan Badui yang mendominasi politik lokal antara lain: Al-Baqarah, Al-Aqeedat, Turkmen, Shammar, Baggara, Anizzah, Al-Hariri, Al-Jabour, Al-Murad, Al-Kurdi (Arab-Kurdi), Al-Harsh, Al-Sheikh, Al-Mashaal, Al-Fadl, Al-Shammar (varian), Al-Sayyad, Al-Azmeh, Al-Khatib, Al-Mufti, Al-Qudsi, Al-Halabi, Al-Salim, Al-Hassan, Al-Matar, Al-Rifai, Al-Karami, dan Al-Sharaa.

Minoritas besar lain yang memiliki pengaruh politik tetapi tidak dianggap kabilah Arab tradisional karena mempunyai perkumpulan sendiri adalah Alawiyah dan Druze. Keduanya menjadi kelompok dominan selama pemerintahan Bashar Al Assad dan ayahnya sehingga wajar wilayah keduanya menjadi yang termaju di Suriah dari pembangunan dan income percapita. Alawiyah menguasai wilayah pesisir dan memiliki jaringan politik yang kuat, sementara Druze menjaga otonomi di Suwayda.

Suku-suku ini, terutama yang Arab, juga memiliki kemampuan untuk mengorganisir “Perkumpulan Suku Suriah”, yang menjadi mekanisme koordinasi dan diplomasi internal. Kegiatan ini memperkuat solidaritas kabilah di tengah ketegangan dengan kelompok bersenjata lain.

Di wilayah utara dan timur, beberapa suku Arab bekerja sama dengan Turkmen (dulu bagian dari SIG) atau komunitas Kurdi (SDF) untuk kepentingan ekonomi dan keamanan. Hubungan ini menunjukkan fleksibilitas politik kabilah Arab di Suriah.

Selain itu, wilayah pedesaan seperti Aleppo, Hama, Idlib, dan pedesaan Damaskus dipenuhi suku Arab pertanian yang menjaga stabilitas lokal. Mereka menjadi jaringan penting dalam konflik internal dan dukungan pemerintah atau kelompok milisi tertentu.

Keberadaan kabilah Arab juga terlihat dalam struktur milisi lokal yang mendukung pemerintah atau SDF. Baggara, Al-Aqeedat, dan beberapa cabang Al-Baqarah tetap menjadi basis pemerintah, sedangkan Shammar, Anizzah, dan sebagian anggota Al-Baqarah di timur laut lebih condong ke SDF.

Struktur sosial kabilah ini memengaruhi politik lokal. Suku Arab tradisional mampu memobilisasi pejuang secara cepat, membentuk jaringan pertahanan, dan menjadi penentu keseimbangan kekuatan di wilayah masing-masing.

Dalam sejarah Suriah modern, konflik dan aliansi kabilah Arab dengan pemerintah maupun SDF membentuk dinamika yang kompleks. Aliansi kabilah sering bergeser sesuai kebutuhan keamanan, ekonomi, dan perlindungan wilayah.

Meskipun minoritas Alawiyah dan Druze memiliki pengaruh politik tinggi, mereka lebih bersifat sektarian dan terpusat di wilayah tertentu. Struktur mereka berbeda dengan jaringan kabilah Arab yang tersebar luas dan mampu memobilisasi ribuan anggota.

Kehadiran 30 kabilah Arab yang disebutkan menjelaskan dominasi sosial-politik Arab dalam konflik dan pemerintahan lokal. Mereka tetap menjadi aktor kunci, sementara minoritas seperti Alawiyah dan Druze beroperasi dalam jaringan internal mereka sendiri.

Perbedaan struktur ini juga memengaruhi dukungan terhadap milisi, pemerintah, dan SDF. Suku Arab mayoritas tetap menjadi tulang punggung dalam mobilisasi sosial-politik, sedangkan Alawiyah dan Druze lebih fokus pada stabilitas internal komunitas dan pengaruh politik terpusat.

Dengan demikian, Suriah tetap merupakan negara yang sangat bergantung pada dinamika kabilah Arab, meski minoritas sektarian Arab seperti Alawiyah dan Druze memiliki peran strategis. Struktur sosial dan afiliasi kabilah menjadi faktor utama dalam menentukan aliansi, konflik, dan distribusi kekuasaan di wilayah Suriah.

Dana Kurang, Masjid Tadamun Suriah Gelar Penggalangan Dana

Agustus 03, 2025

Masjid di Hay al‑Tadhamun, kawasan selatan Damaskus, tengah menggagas penggalangan dana untuk memperbaiki bangunan yang rusak parah setelah konflik panjang di Suriah. Inisiatif ini memunculkan pertanyaan besar: jika negara Suriah tengah menjalani rekonstruksi nasional, mengapa masjid masih harus mengandalkan bantuan lokal dari komunitas?

Meskipun pemerintah baru Suriah telah menjalin kerja sama internasional untuk memulihkan infrastruktur, dana besar untuk rekonstruksi sebagian besar masih belum mengalir secara efektif. Menurut laporan Global dan UNDP, total kebutuhan rekonstruksi mencapai antara 250 hingga 400 miliar dolar AS  , namun sebagian besar proyek belum terealisasi atau masih dalam tahap perencanaan.

Meski sejak tahun lalu telah dibentuk dana khusus UN, yakni Syrian Early Recovery Fund senilai sekitar 500 juta dolar selama lima tahun, dan sulitnya akses dana eksternal akibat sanksi ekonomi  yang telah lam menjadi hambatan utama, meski sudah mulai dikurangi. Penggunaan sebagian besar anggaran rekonstruksi juga tidak merata, seperti yang dilaporkan oleh OCCRP, yang menyebut bahwa hampir 90% dana pemerintah yang dikumpulkan melalui pajak telah dialokasikan untuk lembaga negara dan keamanan yang belum stabil.

Warga Damaskus terutama di kawasan padat penduduk seperti al‑Tadhamun, Hajar al‑Aswad, dan Yarmouk menghadapi realitas urban yang lembek: infrastruktur buruk, layanan minim, dan kerusakan masif akibat konflik. Dalam kondisi ini, masjid sebagai pusat sosial-keagamaan menjadi simbol vitalis untuk komunitas yang bangkit dari trauma.

Komunitas di Hay al-Tadhamun telah memulai penggalangan dana mandiri untuk memperbaiki masjid mereka, menandakan bahwa bantuan resmi maupun internasional belum menjangkau kebutuhan dasar spiritual lokal. Ini bukan sekadar soal dukungan simbolik, melainkan kehadiran praktis masjid yang memberi harapan bagi ketahanan spiritual masyarakat.

Sementara beberapa negara Teluk telah mencairkan dana — seperti Saudi Arabia dan Qatar yang melunasi hutang Suriah ke Bank Dunia serta menjamin investasi puluhan miliar dolar untuk rekonstruksi, realisasi bantuan untuk perbaikan properti komunitas di wilayah seperti Tadamun masih sangat terbatas. Banyak bantuan difokuskan pada proyek skala besar, seperti pembangunan infrastruktur energi, hunian massal, dan sektor publik.

Pada era Bashar Al Assad, pendanaan besar ini juga lebih banyak tertuju pada daerah-daerah loyalis rezim dan proyek-proyek yang dikelola langsung oleh struktur pemerintah atau entitas militer. Menurut investigasi independen, sebagian besar kontrak rekonstruksi diberikan kepada perusahaan dekat rezim dan di bawah kendali elite loyalis. Hal ini juga mempersempit aliran dana ke komunitas oposisi ataupun wilayah padat yang kesulitan seperti Tadamun.

Selanjutnya banyak sumbangan besar mengalir melalui proyek filantropi lintas negara dan lembaga donor internasional. Misalnya, Aga Khan Foundation menyumbang €100 juta selama dua tahun sebagai kontribusi pembangunan untuk program pengembangan Suriah secara luas.Meski penting, sebagian besar bantuan diarahkan ke sektor pendidikan, kesehatan, dan kompleks komunitas besar, bukan khusus untuk perbaikan masjid setempat.

Pemerintah Suriah juga tengah menyiapkan proyek revitalisasi nasional jangka panjang, termasuk dana obligasi nasional dan National Reconstruction Fund (NRFS) yang direncanakan akan mencakup hingga 1% dari anggaran tahunan negara. Tetapi, pelaksanaannya masih lambat dan kurang menjangkau kebutuhan masyarakat grass‑root.

Dalam konteks ini, di era Presiden Ahmed Al Sharaa, penggalangan dana masjid di Hay al‑Tadhamun sesungguhnya mencerminkan dua realitas: satu, pemerintah yang bekum menjangkau hingga tingkatan komunitas kecil; dua, masyarakat lokal terpaksa berinisiatif sendiri demi kelangsungan tempat ibadah mereka. Ini bukan sekadar urusan ekonomi, tapi juga soal identitas dan kohesi sosial setelah trauma berkepanjangan.

Penggalangan dana seperti ini bisa dilihat sebagai cermin ketimpangan distribusi bantuan besar dan bantuan lokal. Komunitas agama kadang terabaikan dalam aliran dana yang diprioritaskan untuk proyek infrastruktur besar dan simbol negara. Akibatnya, masjid dan fasilitas sosial cenderung bermasalah padahal memiliki peran vital dalam kehidupan sehari-hari warga.

Ke depan, penyelarasan antara skema rekonstruksi nasional dan kebutuhan komunitas sangat krusial. Bantuan yang tidak tepat sasaran bisa memperdalam ketimpangan dan memicu ketidakadilan. Reformasi institusi dan partisipasi masyarakat lokal, termasuk masjid, akan menjadi penentu keberhasilan rekonstruksi.

Secara garis besar, Suriah memang memiliki sejumlah mekanisme pendanaan dan kerja sama internasional untuk rekonstruksi, tetapi realisasi di tingkat akar rumput belum memadai. Ini memicu munculnya penggalangan dana mandiri di kawasan seperti Hay al‑Tadhamun sebagai upaya bertahan dan pulih dari kerusakan konflik.

Penggalangan dana untuk masjid adalah bukti nyata bahwa proses rekonstruksi Suriah masih jauh dari tuntas. Harapan akan kucuran bantuan ini tetap tinggi, namun masyarakat tak bisa menunggu hingga sistem besar sepenuhnya berfungsi. Inisiatif lokal seperti ini menjadi wujud daya tahan dan semangat solidaritas di tengah kesulitan.

‎Mengenal Milisi Druze Al Hajri, Pion Israel untuk Ciptakan Konflik Sektarian di Suriah

Juli 17, 2025
‎Provinsi Sweida di Suriah bagian selatan, yang secara historis menjadi jantung komunitas Druze, kembali bergejolak. Wilayah yang relatif tenang di awal konflik Suriah ini kini menjadi saksi bisu pertumpahan darah dan intrik geopolitik yang kompleks. Konflik internal antara milisi lokal dan elemen-elemen bersenjata lainnya, ditambah dengan campur tangan eksternal, telah menciptakan dinamika yang mengkhawatirkan. Di tengah pusaran ini, muncul nama "milisi Al-Hajri," sebuah entitas yang perannya semakin disorot, terutama terkait dengan ambisi kekuatan regional, Israel.
‎Dalam upaya memancing emosi orang Arab di Suriah, milisi ini merekam aksi brutal membantai warga Arab dan menculik anak-anak dari perkampungan Arab, dan mempublikasikan secara online.
‎Memahami siapa "milisi Al-Hajri" memerlukan penelusuran lebih dalam. Kelompok ini secara luas diasosiasikan dengan komunitas Druze di Sweida, yang menjadi penduduk minoritas tapi punya kekuatan besar dalam politik Suriah, bahkan sejak era Bashar Al Assad.
‎Mereka bukanlah entitas terorganisirz namun mempunyai kaitan dengan jaringan intelijen luar. Mereka terdiri dari unit-unit pertahanan diri lokal atau kelompok bersenjata yang loyal kepada pemimpin spiritual dan komunitas mereka. Identitas mereka seringkali terjalin erat dengan kepentingan perlindungan diri dan penegasan otonomi di tengah kekacauan Suriah.
‎Druze tak ingin dianggap sama dengan warga Suriah lainnya, mereka ingin diistimewakan dalam sistem federalisme yang juga sedang dituntutnoleh kelompok Kurdi SDF Suriah.
‎Pusat gravitasi spiritual dan politik Druze di Sweida adalah Sheikh Hikmat al-Hajri, salah satu dari tiga pemimpin spiritual tertinggi Druze di Suriah dan dulu dekat dengan rejim Bashar Al Assad. Sheikh al-Hajri dikenal karena sikapnya yang tegas dan blak-blakan. Berbeda dengan beberapa tokoh agama lain yang memilih kompromi, ia secara konsisten menyuarakan kritik tajam terhadap Damaskus yang dipimpin Presiden Al Sharaa, bahkan secara terbuka melabeli pemerintah Damaskus sebagai "pemerintahan ekstremis." 
‎Postur anti-Damaskus ini memberikan legitimasi moral bagi perlawanan lokal.
‎Hubungan yang tegang antara Sheikh Hikmat al-Hajri dan pusat telah menjadi faktor kunci dalam dinamika Sweida. Keinginan Druze untuk diistimewakan dari warga Suriah yang lain mendorong pembentukan milisi internal.
‎Milisi-milisi yang berafiliasi dengan Sheikh al-Hajri atau yang loyal kepada prinsip-prinsipnya seringkali menjadi garis depan pertahanan komunitas Druze, menolak intervensi pasukan pro-pemerintah dalam upaya Druze memperkuat hegemoni terhadap warga Arab sekitar.
‎Namun, gejolak di Sweida bukanlah sekadar konflik lokal. Israel, sebagai pemain kunci di Timur Tengah, memiliki kepentingan strategis yang mendalam di Suriah, khususnya terkait dengan komunitas Druze, dan itu terkait proyek kolonialisme baru Greater Israel. Dengan populasi Druze yang signifikan di Dataran Tinggi Golan dan dalam angkatan bersenjata Israel, Tel Aviv secara terbuka menyatakan komitmennya untuk mendukung agenda "saudara-saudara" Druzenya di Suriah.
‎Pernyataan ini bukan sekadar retorika; Israel telah melakukan serangan udara ke wilayah Suriah, termasuk di dekat Damaskus dan bahkan di Sweida, dengan dalih melindungi komunitas Druze dari ancaman. Banyak tentara Suriah tewas karena berupaya mendamaikan konflik Druze dengan warga Arab.
‎Dalam konteks inilah, peran milisi Al-Hajri dapat dilihat sebagai alat yang tidak disengaja atau disengaja untuk menciptakan kondisi yang diinginkan oleh Israel. Dengan mendukung atau setidaknya membiarkan milisi Druze mempertahankan hegemoni mereka dan menentang Damaskus, Israel secara efektif menciptakan kantong-kantong perlawanan internal di dalam Suriah.
‎Keberadaan milisi yang tidak tunduk pada kontrol pusat Damaskus menciptakan fragmentasi kekuasaan, melemahkan kendali pusat, dan mengganggu upaya Damaskus untuk menyatukan kembali wilayah Suriah dalam satu pemerintahan.
‎Strategi Israel adalah menjaga Suriah tetap terpecah belah dan tidak stabil, sehingga secara perlahan tunduk pada ambisi regional Tel Aviv. Dengan membiarkan konflik internal terus berkobar di Sweida, Israel secara tidak langsung mendorong Damaskus untuk mengalokasikan sumber daya dan perhatian pada masalah domestik, alih-alih memfokuskannya pada perbatasan atau berupaya membebaskan Dataran Tinggi Golan yang telah lama dikuasai Israel secara tidak sah. 
‎Milisi Al-Hajri, dalam perannya sebagai penentang pusat dan berkedok pelindung komunitas Druze, secara efektif menjadi aktor yang berkontribusi pada strategi "cipta kondisi" ini. Meski begitu sebagian besar warga Druze tetap mendukung Damaskus dan menolak intervensi Israel.
‎Pemberitaan mengenai kekerasan "milisi Al-Hajri" terhadap Badui, misalnya, meskipun tragis dalam dirinya, juga bisa berfungsi untuk memperkeruh situasi dan mencegah konsolidasi kekuasaan Damaskus. 
‎Semakin banyak faksi yang bertikai di Suriah, semakin sulit bagi Damaskus untuk menegakkan kontrol penuh dan stabil di seluruh wilayah. Ini sesuai dengan kepentingan Israel untuk menjaga Suriah tetap dalam keadaan kacau balau namun tidak sepenuhnya kolaps, sebuah "kacau balau yang terkendali."
‎Selain itu, posisi geografis Sweida yang dekat dengan perbatasan Yordania dan Israel menjadikannya koridor strategis. Jika wilayah ini berada di bawah kendali penuh Damaskus dan sekutunya, itu akan membuat Suriah tak mudah diobrak-abrik Israel.
‎Oleh karena itu, keberadaan milisi Druze yang mandiri dan bisa mengacaukan wibawa Damaskus di Sweida berfungsi sebagai penyangga alami, memperumit upaya Kementerian Pertahanan untuk mengkonsolidasikan pengaruh mereka di selatan Suriah.
‎Meskipun tidak ada pengumuman terbuka mengenai koordinasi operasional antara Israel dan "milisi Al-Hajri," dukungan politik dan moral Israel kepada komunitas Druze di Suriah adalah fakta yang terdokumentasi. 
‎Pernyataan publik Israel mengenai perlindungan Druze, disertai dengan tindakan militer selektif di Suriah, memberikan sinyal yang jelas bahwa Tel Aviv memiliki kepentingan untuk mendukung ketidakstabilan ini, bahkan jika itu berarti melemahkan kedaulatan Damaskus dan dikecam negara Arab dan PBB.
‎Dengan demikian, milisi Al-Hajri, meski motif utamanya adalah menuntut keistimewaan dan memperkuat hegemoni terhadap warga Arab, secara tidak langsung menjadi bagian dari permainan geopolitik yang lebih besar.
‎Mereka menjadi pion, atau setidaknya alat, dalam strategi Israel untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kekacauan terkendali di Suriah, yang pada akhirnya bertujuan untuk melemahkan pemerintahan Damaskus dan menghambat agenda pihak yang dianggap tidak memihak kepada Israel di wilayah tersebut.
‎Fenomena ini adalah contoh nyata bagaimana konflik lokal dapat diperalat oleh kekuatan regional untuk mencapai tujuan strategis mereka. Gejolak di Sweida, yang dipicu oleh ketegangan komunal dan keangkuhan sukuisme Druze, kini telah terjalin dengan narasi yang lebih besar tentang keamanan regional dan persaingan kekuasaan. 
‎Milisi Al-Hajri, dengan perannya sebagai penantang Damaskus, telah menjadi simbol dari kompleksitas dan bahaya intervensi eksternal dalam konflik internal.
‎Masa depan Sweida dan peran milisi Al-Hajri akan sangat bergantung pada dinamika yang terus berubah di Suriah dan di kawasan yang lebih luas. Selama pemerintah Suriah tetap berupaya menegakkan kontrol penuh dan selama Israel melihat kepentingan keamanannya terancam oleh kedamaian di Suriah, milisi-milisi lokal seperti Al-Hajri kemungkinan akan terus memainkan peran penting, baik secara sadar maupun tidak, dalam menjaga keseimbangan kekuatan yang rentan di Suriah. Sebuah keseimbangan yang, bagi Damaskus, adalah gangguan; namun bagi Israel, mungkin adalah strategi.

Jejak Tabut Barus dan Aceh yang Terhapus Waktu

Juli 07, 2025

Di pesisir barat Sumatra, kota Barus sejak lama dikenal sebagai pelabuhan tua yang menjadi pintu masuk awal Islam ke Nusantara. Selain jejak makam kuno dan jalur rempah, Barus juga menyimpan riwayat perayaan Asyura yang dulu hidup di tengah masyarakat. Tradisi itu dikenal sebagai Tabut, yakni peringatan kematian Sayyidina Husain bin Ali di Karbala, yang dibawa oleh para perantau dari Persia, Gujarat, dan India ke pelabuhan-pelabuhan Islam di Sumatra.

Denys Lombard dan Anthony Reid sama-sama mencatat bahwa selain di Aceh dan Pariaman, jejak peringatan Asyura juga pernah ada di Barus. Tradisi itu diadakan dalam bentuk arak-arakan keranda simbolis dan pesta rakyat setiap tanggal 10 Muharram. Seiring waktu, ritual tersebut bercampur dengan adat setempat dan berubah menjadi acara tahunan tanpa narasi keagamaan yang ketat. Meski begitu, nilai asal-usulnya tetap dipahami masyarakat tua sebagai bagian dari peringatan sejarah peristiwa Karbala.

Meski di Aceh dan Pariaman nama Tabut masih sempat bertahan hingga abad ke-19, di Barus tradisi itu mulai meredup lebih awal. Diperkirakan, pengaruh pemahaman Islam arusutama yang makin kuat di wilayah Sumatra dan Tapanuli membuat ruang gerak tradisi seperti Tabut makin terbatas. Beberapa sumber menyebut bahwa ritual Tabut di Barus masih tersisa secara sederhana dalam bentuk pesta Muharram hingga dekade 1970-an.

Tradisi ini mulanya tidak sepenuhnya menghilang. Di beberapa desa sekitar Barus, ritual mirip Tabut tetap dilakukan secara tidak resmi dalam bentuk arak-arakan kecil, permainan rakyat, dan simbol keranda tanpa menyebutkan unsur-unsur teologisnya. Acara ini lambat laun dipandang sebagai bagian dari budaya masyarakat pesisir, bukan sebagai ritual agama tertentu. Namun, situasi sosial-politik Indonesia yang makin ketat terhadap ragam ekspresi keagamaan pasca kemerdekaan membuat tradisi ini pelan-pelan terhapus.

Peristiwa Revolusi Iran tahun 1979 menjadi salah satu momentum penting yang mempercepat hilangnya tradisi Tabut di Barus. Ketika peristiwa itu mengguncang dunia Islam, kekhawatiran terhadap segala bentuk perayaan yang berbau Asyura menjadi tinggi di berbagai wilayah. Pemerintah saat itu makin sensitif terhadap aktivitas keagamaan non-arusutama yang dianggap bisa menimbulkan keramaian atau dicurigai bermuatan politik.

Di Aceh sendiri, tradisi Tabut lebih dulu mengalami penolakan resmi menjelang akhir abad ke-19. Selain karena tekanan kolonial Belanda yang khawatir terhadap potensi kerumunan massa, para pemuka agama di wilayah itu juga mulai mempersempit ruang ritual tersebut. Akibatnya, perayaan Tabut di Aceh lenyap jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, dan jejaknya kini hanya tinggal dalam catatan-catatan sejarah.

Tradisi Muharram di Aceh tak jauh berbeda dengan daerah lain. Aboebakar Atjeh dalam bukunya berjudul "Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia" (Solo Ramadhani, 1985) menyebut di Kampung Kedah, Aceh , orang sering melaksanakan perayaan tabut Hasan Husein pada setiap tahun. Perayaan diadakan di Kutaraja.

‎Adalah Tuanku Raja Keumala, keluarga India yang memainkan peranan penting dalam upacara Tabut Hasan Husein di Kampung Kedah, sebagai penghormatan atas kejadian yang sedih di Karbala, masyarakat memasak bubur yang bercampur buah-buahan dan dibagikan kepada orang yang melewati jalan.

‎"Kini perayaan Tabut Hasan Husein sudah terhapus di beberapa daerah di Sumatera," tulisnua.

‎Siti Maryam dalam disertasinya berjudul "Tradisi Syiah dalam Komunitas Ahlusunah Waljamaah Indonesia" (pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009) menyebut di Aceh, untuk memperingati bulan Asyura masyarakat membuat Kanji Asyura yang terbuat dari beras, susu, kelapa, gula, buah-buahan, kacang tanah, pepaya, delima, pisang dan akar-akaran.

Di Barus atau sekitarnya, karena wilayahnya dikenal lebih kosmopolit dan terbuka terhadap pengaruh luar, tradisi Tabut sempat bertahan lebih lama, setidaknya hingga dekade 70-an. Beberapa warga tua Barus bahkan masih ingat arak-arakan kecil di kampung mereka saat Muharram, meski tanpa lagi menyebutkan unsur peristiwa Karbala secara terang. Perayaan itu akhirnya dihentikan sepenuhnya setelah kondisi politik nasional makin ketat pada awal 1980-an.

Yang menarik, para sejarawan lokal menyayangkan minimnya dokumentasi tentang keberadaan Tabut di Barus. Berbeda dengan di Pariaman yang masih mempertahankan Tabuik sebagai festival budaya, di Barus tradisi itu benar-benar lenyap tanpa sempat dicatat secara utuh. Padahal, menurut catatan Denys Lombard dan Anthony Reid, jejak peringatan Asyura di Barus sama tuanya dengan di Aceh dan Pariaman.

Sebagian masyarakat tua sekitar Barus masih menyimpan ingatan tentang perayaan tersebut. Beberapa mengenang saat mereka kecil melihat orang tua membuat keranda dari kayu ringan, dihias sederhana, dan diarak keliling kampung saat Muharram. Walau tidak menyebut nama Tabut, masyarakat tetap tahu bahwa perayaan itu bagian dari tradisi lama memperingati wafatnya Husain.

Hilangnya tradisi Tabut dari Barus sekaligus menjadi potret kecil bagaimana tradisi keagamaan bisa tergerus oleh perubahan politik, tekanan sosial, dan dominasi pemahaman keagamaan arusutama. Tradisi yang awalnya hidup sebagai bagian dari ekspresi keimanan dan sejarah umat, perlahan dikikis oleh sistem kekuasaan yang lebih ketat terhadap keragaman praktik ibadah.

Di Barus, setelah tradisi Tabut hilang, tidak ada lagi perayaan Muharram yang bersifat arak-arakan atau prosesi simbolik. Peringatan 10 Muharram hanya dilakukan dalam bentuk zikir dan doa bersama di masjid. Sementara sisa-sisa cerita tentang keranda kayu yang pernah diarak kini hanya tinggal dalam ingatan beberapa orang tua, tanpa generasi penerus yang bisa merawat kisah itu.

Pergeseran ini tidak lepas dari ketegangan global pasca Revolusi Iran yang membuat berbagai wilayah di dunia Islam menjadi lebih waspada terhadap bentuk-bentuk perayaan Asyura. Pemerintah Indonesia, melalui kebijakan keagamaan nasional saat Orde Baru, juga lebih ketat mengatur aktivitas keagamaan rakyat di luar praktik resmi yang diakui negara.

Kini, sejarah Tabut di Barus hanya bisa ditelusuri melalui catatan-catatan terserak dan cerita lisan. Tidak ada festival budaya ataupun museum lokal yang menyimpan kenangan tentang perayaan itu. Bahkan di buku pelajaran sejarah Nusantara sekalipun, nama Barus lebih sering dikaitkan dengan perdagangan kapur barus dan penyebaran awal Islam, tanpa menyentuh soal keberagaman ekspresi keagamaannya.

Padahal, Barus dulu adalah pelabuhan kosmopolit di mana berbagai madzhab dan tradisi Islam pernah hidup berdampingan. Peringatan Asyura dengan Tabut menjadi bukti nyata bahwa Sumatra pernah memiliki keberagaman ritual yang lebih kaya sebelum terkikis oleh arus pemahaman tunggal. Kehilangan tradisi ini membuat potongan penting sejarah keberagaman Islam Nusantara semakin kabur.

Hingga kini, belum ada upaya akademik maupun budaya serius untuk menelusuri kembali jejak tradisi Tabut di Barus. Padahal, kisah itu bukan sekadar soal ritual, melainkan tentang perjalanan panjang interaksi budaya dan agama di pesisir barat Sumatra. Jika tidak dicatat, potongan sejarah itu bisa benar-benar hilang dari ingatan generasi mendatang.


Kesultanan Darfur dan Peran Suku Zaghawa

Juli 05, 2025

Kesultanan Darfur adalah salah satu kerajaan bersejarah di Afrika yang berdiri pada awal abad ke-17. Didirikan sekitar tahun 1603 oleh Sultan Sulayman Solong dari suku Fur, kesultanan ini berkembang menjadi kekuatan regional yang signifikan di wilayah Afrika Barat Laut, khususnya di wilayah yang kini masuk Sudan barat. Kesultanan ini menjadi pusat pemerintahan, kebudayaan, dan perdagangan yang menghubungkan berbagai kelompok etnis dan kerajaan di sekitar Sahara dan Sahel.

Selama hampir tiga abad, Kesultanan Darfur menguasai wilayah yang luas dan memainkan peranan penting dalam menjaga stabilitas politik dan ekonomi di kawasan itu. Jalur perdagangan lintas gurun Sahara yang melewati Darfur menjadi vital bagi perkembangan kesultanan. Berbagai komoditas seperti emas, garam, dan hasil pertanian diperdagangkan dengan kerajaan lain di sekitarnya, membuat Darfur menjadi titik penting dalam jaringan perdagangan regional.

Dalam struktur sosial dan politik kesultanan, suku Fur memegang posisi dominan sebagai pendiri dan penguasa utama. Namun, kesultanan ini juga merupakan rumah bagi beragam kelompok etnis lainnya yang mendiami wilayah tersebut, termasuk suku Zaghawa, yang kini menjadi suku dominan di Chad meski populasinya hanya di bawah 2 persen. Suku Zaghawa adalah kelompok etnis nomaden yang tinggal di wilayah perbatasan antara Darfur dan Chad. Keberadaan mereka telah tercatat sejak lama sebagai bagian dari mosaik etnis yang membentuk Kesultanan Darfur.

Posisi suku Zaghawa dalam Kesultanan Darfur cukup unik. Mereka dikenal sebagai komunitas yang mandiri dengan gaya hidup nomaden dan semi-nomaden yang bergantung pada peternakan dan perdagangan. Meskipun tidak memegang posisi politik utama dalam kesultanan, Zaghawa berperan penting dalam jaringan perdagangan dan komunikasi di wilayah tersebut. Pergerakan mereka yang luas di wilayah gurun membantu menjaga jalur perdagangan dan menjalin hubungan antar suku dan kerajaan.

Sistem pemerintahan Kesultanan Darfur tidak sepenuhnya terpusat. Meskipun Sultan Fur memegang otoritas tertinggi, banyak wilayah di dalam kesultanan dikelola secara semi-otonom oleh kepala suku dan pemimpin lokal dari berbagai suku, termasuk Zaghawa. Ini memberikan Zaghawa ruang untuk mempertahankan tradisi dan struktur sosial mereka sendiri sambil tetap menjadi bagian dari kesultanan yang lebih besar.

Dalam periode kejayaannya, Kesultanan Darfur juga dikenal karena toleransi beragama dan kebudayaan yang beragam. Islam menjadi agama resmi kesultanan, namun praktik keagamaan dan adat istiadat lokal dari berbagai suku, termasuk Zaghawa, tetap dihormati. Hubungan antara suku Fur dan Zaghawa meskipun terkadang penuh ketegangan, pada umumnya berlangsung dalam kerangka kerja sama yang pragmatis untuk keuntungan bersama.

Seiring waktu, konflik antar suku dan tekanan dari kekuatan eksternal mulai mempengaruhi kestabilan Kesultanan Darfur. Wilayah perbatasan yang dihuni suku Zaghawa sering menjadi arena persaingan dan konflik, terutama terkait penguasaan sumber daya dan jalur perdagangan. Namun, suku Zaghawa mampu mempertahankan identitas dan peran penting mereka meski berada dalam dinamika politik yang kompleks.

Ketika masa kolonial mulai memasuki Afrika, Kesultanan Darfur menghadapi tantangan baru yang mengubah tatanan politik regional. Penjajahan Inggris dan Mesir pada awal abad ke-20 mengakhiri kedaulatan Kesultanan Darfur. Meskipun demikian, pengaruh dan warisan kesultanan tetap melekat dalam struktur sosial dan budaya masyarakat di wilayah itu.

Suku Zaghawa juga mengalami perubahan signifikan selama periode kolonial. Mereka tetap mempertahankan gaya hidup nomaden, namun hubungan politik dan ekonomi dengan kekuatan kolonial mulai membentuk ulang posisi mereka dalam konteks baru. Banyak tokoh Zaghawa kemudian terlibat dalam pergerakan politik dan konflik yang membentuk sejarah modern Chad dan Sudan.

Setelah kemerdekaan Sudan dan Chad, suku Zaghawa menjadi salah satu kelompok etnis yang berperan penting dalam politik nasional kedua negara. Dalam sejarah modern, mereka dikenal sebagai kelompok yang cukup berpengaruh, terutama melalui tokoh-tokoh militer dan politik yang berasal dari suku ini. Pengalaman mereka sebagai bagian dari Kesultanan Darfur menjadi bagian dari identitas kolektif mereka dalam memperjuangkan hak dan posisi di negara masing-masing.

Warisan Kesultanan Darfur juga tercermin dalam struktur sosial dan adat istiadat suku Zaghawa. Meskipun tidak pernah menjadi penguasa utama dalam kesultanan, interaksi dan hubungan historis mereka dengan kerajaan Fur membentuk tradisi kepemimpinan dan jaringan sosial yang kuat. Hal ini membantu Zaghawa bertahan dan berkembang di tengah tantangan lingkungan dan politik.

Dalam konteks kontemporer, hubungan antara suku Zaghawa dan wilayah Darfur tetap relevan. Konflik dan ketegangan di Darfur pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 menunjukkan betapa pentingnya sejarah bersama ini dalam memahami dinamika sosial dan politik di kawasan tersebut. Zaghawa tetap menjadi aktor utama dalam upaya perdamaian dan rekonsiliasi di wilayah yang pernah menjadi bagian Kesultanan Darfur.

Penelitian sejarah dan antropologi tentang Kesultanan Darfur dan suku Zaghawa terus berkembang, membuka wawasan baru tentang kompleksitas hubungan antar suku dan kerajaan di Afrika Utara. Pemahaman ini penting untuk menghargai keberagaman budaya dan politik yang membentuk sejarah dan masa depan wilayah tersebut.

Kesultanan Darfur dan posisi suku Zaghawa di dalamnya merupakan contoh bagaimana kekuatan politik dan budaya bisa saling berinteraksi dalam konteks wilayah yang beragam. Meski Zaghawa bukan penguasa utama, peran mereka dalam ekonomi, sosial, dan militer menjadikan mereka bagian integral dari sejarah kesultanan ini.

Warisan Kesultanan Darfur memberikan pelajaran tentang pentingnya kerjasama antar suku dalam menghadapi tantangan bersama. Hubungan antara suku Fur dan Zaghawa menunjukkan bahwa identitas etnis tidak selalu menjadi penghalang bagi kerjasama politik dan ekonomi.

Dalam menghadapi tantangan modern, seperti perubahan iklim dan konflik politik, warisan sejarah Kesultanan Darfur dan peran suku Zaghawa dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun solidaritas dan perdamaian di wilayah tersebut.

Penting untuk terus menggali dan memahami sejarah bersama ini agar generasi mendatang dapat belajar dari pengalaman masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik bagi semua kelompok etnis di Darfur dan sekitarnya.

Kesultanan Darfur dan suku Zaghawa tetap menjadi bagian penting dari mozaik sejarah Afrika Utara yang kaya dan penuh warna. Keberadaan mereka menunjukkan bagaimana sejarah lokal dapat memberikan wawasan penting tentang dinamika regional yang lebih luas.

Dengan memahami hubungan historis antara Kesultanan Darfur dan suku Zaghawa, kita dapat lebih menghargai kompleksitas identitas dan politik di kawasan Sahel dan Sahara yang sering kali disederhanakan dalam narasi global.

Kesultanan Darfur dan peran suku Zaghawa dalam sejarahnya mengingatkan kita bahwa politik dan budaya selalu saling terkait, dan bahwa kekuatan lokal dapat membentuk jalannya sejarah regional secara signifikan.

Pemahaman ini juga membuka peluang untuk dialog dan rekonsiliasi di masa depan, dengan dasar penghormatan terhadap sejarah dan keberagaman yang telah terjalin selama berabad-abad.

Kesultanan Darfur dan suku Zaghawa bukan hanya kisah masa lalu, tetapi bagian hidup yang terus berkembang dalam kehidupan sosial dan politik Afrika Utara hingga hari ini.

 
Copyright © Berita Borbor. Designed by OddThemes