Pemandangan kota dan desa di Suriah hari ini menghadirkan kontras yang kuat. Di satu sisi, bangunan yang runtuh akibat konflik bertahun-tahun masih berdiri dengan tiang dan dinding yang setengah hancur, menanti untuk diperbaiki. Di sisi lain, ada gedung-gedung baru yang sedang dibangun dengan semangat rekonstruksi. Namun, tidak sedikit pula proyek lama yang terbengkalai, setengah jadi dan ditinggalkan tanpa kejelasan.
Ketiga bentuk bangunan ini kini menjadi wajah nyata kehidupan masyarakat Suriah. Yang pertama adalah bangunan rusak akibat perang. Banyak di antaranya masih bisa diperbaiki karena struktur utama masih berdiri. Pemukiman, sekolah, hingga masjid menjadi bagian dari deretan bangunan yang menunggu sentuhan rekonstruksi.
Yang kedua adalah bangunan yang sudah lama tidak selesai. Beberapa bahkan mangkrak jauh sebelum konflik pecah. Ada yang merupakan proyek pemerintah, ada juga yang dimiliki pihak swasta, terutama pengembang di bidang properti. Gedung-gedung itu kini menjadi simbol stagnasi yang memanjang.
Bentuk ketiga adalah bangunan baru yang muncul dari semangat bertahan. Lembaga swadaya masyarakat mendirikan asrama untuk anak yatim dan janda. Militer membangun barak baru di sejumlah wilayah. Sementara pengembang dan investor mulai membangun kompleks hunian serta fasilitas komersial, meski dengan tantangan berat.
Ketiga jenis bangunan ini bersaing dalam satu hal yang sama: kebutuhan bahan bangunan. Permintaan tinggi membuat harga bahan melonjak tajam, terutama untuk blok beton yang menjadi material utama.
Video yang beredar dari pedesaan Damaskus menggambarkan situasi ini dengan jelas. Seorang pekerja konstruksi mengeluhkan bahwa harga blok beton naik drastis. Dari sebelumnya 3.000 lira, kini menjadi 5.000 lira per blok. Lonjakan harga ini menjadi pukulan berat bagi masyarakat.
Dampaknya, banyak orang menunda pembangunan atau renovasi rumah mereka. Rumah yang semula bisa diperbaiki dengan biaya terbatas, kini harus ditunda. Bahkan, harga rumah yang sudah selesai juga ikut melambung, memaksa sebagian besar warga beralih menyewa.
Kenaikan harga tidak hanya dirasakan oleh pemilik rumah, tetapi juga pekerja bangunan. Jika sebelumnya mereka bisa bekerja penuh dalam sepekan, kini hanya mendapat tiga hari kerja. Artinya, pendapatan mereka berkurang hampir setengah.
Biaya produksi blok beton dan bahan bangunan lain ikut naik karena harga listrik, solar, serta bea cukai yang tinggi. Semua faktor itu saling menekan hingga industri konstruksi menjadi serba mahal.
Kondisi ini menimbulkan efek domino. Saat pembangunan terhenti, pekerjaan lanjutan seperti plester, pemasangan ubin, cat, instalasi listrik, dan sanitasi juga ikut berhenti. Diperkirakan hingga 80 persen pekerjaan di sektor turunan ikut lumpuh.
Meski begitu, sisi positif tetap terlihat. Permintaan bahan bangunan yang tinggi membuka lapangan kerja baru bagi warga pedesaan. Banyak yang kini beralih membuat batu bata dan blok beton secara manual untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal.
Di desa-desa sekitar Damaskus, suara cetakan blok beton bergema sepanjang hari. Para pekerja kecil itu berupaya mengisi celah yang ditinggalkan oleh pabrik besar yang kesulitan memenuhi pasokan.
Namun, tetap saja kapasitas mereka tidak sebanding dengan tingginya permintaan. Harga tetap tinggi, sementara daya beli masyarakat semakin tertekan.
Kondisi ini juga memunculkan kesenjangan sosial. Mereka yang punya akses dana besar bisa melanjutkan pembangunan, sementara rakyat kecil harus rela hidup di bangunan setengah jadi atau rumah sewaan.
Di beberapa wilayah, proyek LSM menjadi penopang utama. Gedung-gedung baru untuk yatim piatu dan janda menjadi harapan segar, meski jumlahnya terbatas.
Investor swasta juga mulai masuk dengan proyek hunian, tetapi harga yang ditawarkan seringkali tidak terjangkau bagi kebanyakan warga.
Bangunan militer, sebaliknya, justru berkembang pesat. Barak baru dan fasilitas pertahanan menjadi prioritas, sekaligus menegaskan peran militer dalam peta konstruksi Suriah pascaperang.
Situasi ini mencerminkan dilema besar. Suriah membutuhkan pembangunan untuk pulih, tetapi biaya yang tinggi membuat prosesnya berjalan lambat.
Wajah tiga bentuk bangunan—hancur, mangkrak, dan baru—menjadi simbol perjalanan panjang negeri itu. Ia menggambarkan luka, ketidakpastian, sekaligus secercah harapan yang terus dipertahankan.
Masyarakat Suriah kini berdiri di tengah pusaran, mencoba membangun kembali kehidupannya di antara puing, gedung tak selesai, dan konstruksi baru yang terus bermunculan.
Posting Komentar