Sejarah marga-marga di Mandailing selalu menarik untuk ditelusuri karena berkaitan dengan migrasi, percampuran budaya, serta lahirnya tokoh-tokoh penting dalam perjalanan bangsa. Salah satunya adalah marga Matondang yang hingga kini masih bertahan kuat sebagai identitas sosial masyarakat Mandailing.
Sebuah video yang beredar di media sosial mengisahkan asal-usul tiga marga besar, yakni Batubara, Daulay, dan Matondang. Narasi yang dituturkan menyingkap bagaimana ketiga marga ini sesungguhnya bersumber dari leluhur yang sama. Cerita bermula dari kedatangan sekelompok orang dari Batu Bara, dekat Tanjungbalai, yang bermigrasi ke pedalaman Mandailing beberapa abad silam.
Rombongan itu dipimpin oleh dua tokoh besar, Parmato Sophia dan Datuk Piccur Ayo. Keduanya memimpin kelompok menuju Barumun, dan di sanalah mereka membuka perkampungan baru yang dinamakan Binabo, sekitar dua kilometer dari Sibuhuan saat ini. Dari titik inilah garis keturunan marga Batubara, Daulay, dan Matondang berkembang.
Dikisahkan bahwa Parmato Sophia memiliki dua putra yang kelak menjadi cikal bakal marga besar. Putra pertama bernama Silai yang menurunkan marga Daulay, sedangkan putra kedua bernama Sitondang yang menurunkan marga Matondang. Dengan demikian, marga Daulay dan Matondang dapat dikatakan masih seketurunan dengan marga Batubara.
Di sisi lain, Datuk Piccur Ayo yang merupakan saudara Parmato Sophia juga memiliki keturunan. Putranya bernama Sibaru, sementara putrinya yang terkenal akan kecantikannya disebut Boru Matondang. Dari nama inilah, sebutan Matondang semakin melekat dan akhirnya berkembang menjadi nama marga tersendiri.
Setelah Parmato Sophia wafat, makamnya di Thor Parking Kiran dipelihara dan kemudian dipugar oleh keturunannya. Dari makam inilah terjalin ikatan emosional yang kuat antara para keturunan Batubara, Daulay, dan Matondang. Tradisi ziarah serta penghormatan leluhur masih terus dilakukan hingga kini sebagai bentuk penghargaan terhadap sejarah.
Perjalanan keturunan Parmato Sophia tidak berhenti di Binabo. Silai dan Sitondang kemudian pindah ke wilayah Pintupadang. Dari sanalah garis keturunan Daulay dan Matondang berkembang lebih luas, menjadi bagian penting dari masyarakat Mandailing yang tersebar di berbagai desa dan daerah.
Sementara itu, Datuk Piccur Ayo memilih menetap di Pagaran Tonga. Namun, perselisihan internal kemudian membuat sebagian kelompok bermarga Batubara berpencar ke berbagai tempat seperti Desa Bakaran Korsik, Tanobato, Hutan Rimba Ruk, Hutapungkut, hingga Hutanagodang.
Dari persebaran itu, muncul pula banyak tokoh terkemuka. Salah satunya adalah almarhum Adam Malik, putra Hutapungkut Julu, yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Ia merupakan bukti nyata bagaimana marga-marga Batubara, Daulay, dan Matondang memberikan kontribusi besar pada sejarah nasional.
Marga Matondang sendiri dikenal dengan identitas yang melekat pada nama Sitondang, putra Parmato Sophia. Dalam perkembangannya, marga ini hidup berdampingan dengan Daulay dan Batubara, karena memang masih satu rumpun. Hubungan kekerabatan di antara ketiganya masih dijaga dengan baik hingga sekarang.
Di kalangan masyarakat Mandailing, marga Matondang dipandang sebagai salah satu marga yang punya kedudukan terhormat. Mereka dikenal memiliki peranan dalam dunia keagamaan, pemerintahan, maupun kebudayaan. Beberapa tokoh ulama dari marga ini bahkan tercatat berpengaruh pada masa awal penyebaran Islam di Mandailing.
Nama Matondang juga muncul dalam berbagai catatan sejarah lisan yang diwariskan turun-temurun. Kisah Boru Matondang yang disebut cantik rupawan menambah dimensi simbolik terhadap identitas marga ini. Sebutan itu memperkaya citra Matondang sebagai marga yang bukan sekadar garis keturunan, melainkan juga simbol keindahan dan kehormatan.
Asal usul Matondang yang erat kaitannya dengan Batubara dan Daulay menunjukkan bagaimana percampuran tradisi, migrasi, dan kekerabatan membentuk struktur sosial Mandailing. Hal ini juga menggambarkan bagaimana identitas marga di Sumatera Utara tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan sejarah panjang leluhur.
Haji Matondang disebut-sebut sebagai salah satu tokoh dari marga ini yang berperan besar dalam kehidupan keagamaan dan sosial di Singkil, Pakpak Bharat dan Dairi. Kiprahnya menegaskan posisi Matondang sebagai marga yang tak hanya berakar kuat pada sejarah, tetapi juga aktif dalam dinamika masyarakat modern.
--
Menurut Ypes, W. K. H., di tulisannya "Nota omtrent Singkel en de Pak-pak landen" pada buku "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde" ("Catatan mengenai Tanah Singkel dan Pak-pak" pada buku "Jurnal Linguistik, Geografi dan Etnologi Hindia") terbitan tahun 1907 halaman 555-642, marga Pinarik (Penarik) adalah sama dengan marga Cibero (Cibro).
Tulisan ini membahas mengenai daerah-daerah di Singkil dan Pakpak pada saat itu. Singkil dianeksasi oleh Belanda dan dijadikan enderafdeeling pada tahun 1840. Sebelumnya di Singkil ada kerajaan-kerajaan kecil yang disebut “Raja Sinambelas” (Raja 16) dan berada dibawah kekuasaan Aceh.
Sebelum itu daerah kerajaan-kerajaan tersebut tunduk pada Kerajaan Pagaruyung, yang kemudian diberikan kepada Aceh sebagai mas kawin. Salah satu kerajaan-kerajaan kecil tersebut adalah kerajaan Surau. Di bagian mengenai Kerajaan Surau pada halaman 35-37 buku ini dikisahkan bagaimana mulainya Kerajaan Surau dan juga mulainya marga Pinarik. Pada saat buku ini ditulis, Kerajaan Surau berada di bawah pimpinan Raja Gombok dari marga Pinarik dengan gelar Raja Setia Bakti, yang karena masih di bawah umur berada di bawah perwalian wakil Selatong, dengan nama Raja Sedap. Saat ini wilayah kerajaan Surau sepertinya adalah Kecamatan Suro Makmur, Kabupaten Aceh Singkil. Para pengapit (mentri) dari Raja Gombok kebanyakan bermarga Cibero dan Pinarik (halaman 36).
Berikut kisahnya di halaman 35-37, diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia dengan bantuan Google Translate dan DeepL:
Surau (mushalla/masjid) didirikan oleh dua orang bersaudara dari Traju (Pak-pak) yang tergabung dalam marga Cibero, Haji Matondang dan Haji Mulia. Kedua orang tersebut menetap di hulu Laé Kinabé. merupakan cabang Sungai Sulampi yang termasuk dalam kawasan Marga Buluara. Pada saat itu, marga ini sangat terganggu oleh babi pemakan manusia, yang, seperti manusia, mengenakan bergot (rantai) di lehernya (babi merantei). Suatu hari, masyarakat marga Buluara mengetahui keberadaan kedua bersaudara tersebut melalui potongan bambu yang hanyut dari Sungai Kinabé. Kepala marga Buluara kemudian mengutus orang untuk mencari mereka. Haji Matondang dan Haji Mulia kemudian dibawa ke kepala marga Buluara, kemudian ia menjanjikan putri tunggalnya Boru Saléndang kepada salah satu dari mereka yang berhasil membunuh babi merantei. Haji Matondang dan Hadji Moelia kemudian membunuh hewan tersebut dan menyelamatkan rantai bersama-sama. Ketika ditanya oleh kepala Marga Buluara siapa di antara mereka yang akan menikahi putrinya, mereka sepakat bahwa Haji Matondang yang akan menikahinya dan kalung itu akan menjadi milik Haji Mulia (Angkat?).
--+++
Kisah Matondang memperlihatkan bahwa migrasi yang dilakukan nenek moyang bukanlah sekadar perpindahan fisik, melainkan juga penciptaan identitas baru. Nama Sitondang yang berubah menjadi Matondang adalah bukti bagaimana tradisi lisan dan simbol kultural mampu mengabadikan jejak leluhur.
Hingga kini, marga Matondang tetap lestari di Mandailing dan sekitarnya. Penyebarannya yang luas membuatnya dikenal di berbagai lapisan masyarakat. Ikatan kekerabatan dengan Batubara dan Daulay masih dipertahankan melalui adat, perkawinan, dan tradisi bersama.
Sejarawan lokal menilai bahwa kisah Matondang penting dicatat agar generasi muda memahami asal-usul mereka. Dengan demikian, identitas tidak hilang ditelan zaman, melainkan terus hidup sebagai bagian dari warisan budaya.
Asal usul marga ini juga memperlihatkan betapa kaya dan beragamnya sejarah Mandailing. Dari migrasi kecil yang dipimpin Parmato Sophia dan Datuk Piccur Ayo, lahirlah komunitas besar yang kemudian menyumbangkan tokoh-tokoh nasional.
Kisah Matondang, Batubara, dan Daulay adalah kisah tentang perpindahan, kekerabatan, dan kebesaran sebuah komunitas. Ia menjadi cermin bahwa identitas marga adalah bagian tak terpisahkan dari jati diri masyarakat Mandailing.
Dengan memahami asal-usul Matondang, generasi kini diingatkan kembali bahwa mereka adalah penerus dari sejarah panjang yang penuh dinamika. Tugas berikutnya adalah menjaga warisan itu tetap hidup, sambil terus memberi kontribusi bagi bangsa dan daerah.
https://www.facebook.com/share/p/17AEAFxY1B/
https://www.facebook.com/share/p/15eg3wGQtW/
Posting Komentar