Suku-Suku Suriah dan Pengaruh Politiknya


Suriah dikenal sebagai negara dengan keragaman suku, kabilah, dan komunitas agama-sektarian yang kompleks. Mayoritas penduduknya terdiri dari Arab, dengan sekitar 30 kabilah besar yang tersebar di berbagai wilayah. Kabilah-kabilah ini memainkan peran penting dalam struktur sosial, politik, dan militer negara, terutama dalam konteks konflik dan mobilisasi massa.

Beberapa kabilah Arab paling menonjol di Suriah antara lain Al-Baqarah, Al-Aqeedat, dan Turkmen. Mereka tersebar di wilayah Damaskus, Al-Hasakah, Raqqa, Deir ez-Zor, Homs, Aleppo, Idlib, dan Hama. Keberadaan mereka membentuk jaringan sosial yang kuat, memungkinkan mobilisasi cepat jika diperlukan, baik untuk pertahanan lokal maupun konflik berskala nasional.

Kabilah Badui besar, seperti Shammar dan Anizzah, memiliki pengaruh yang signifikan di wilayah utara dan timur Suriah. Mereka dikenal dengan kemampuan mobilisasi yang cepat dan penguasaan wilayah gurun, sehingga menjadi aktor penting dalam dinamika politik dan keamanan di kawasan tersebut.

Di sisi lain, kabilah pedesaan seperti Baggara, Al-Murad, dan Al-Atrash memiliki pengaruh di Hama, Homs, dan Suwayda. Kabilah ini berfokus pada pertanian dan pedesaan, tetapi tetap menjaga kekuatan sosial yang dapat dimobilisasi dalam keadaan darurat.

Minoritas agama-sektarian seperti Alawiyah dan Druze juga Arab, namun mereka tidak dianggap bagian dari kabilah Arab tradisional. Hal ini disebabkan struktur sosial mereka yang berbasis komunitas agama dan wilayah konsentrasi tertentu, bukan jaringan kabilah luas yang tersebar di berbagai wilayah. Alawiyah dominan di Latakia, sementara Druze di Suwayda, sehingga mobilisasi mereka lebih bersifat sektarian daripada kabilah.
Perkumpulan suku-suku Suriah juga sering mengadakan pertemuan rutin, terutama di kota Suwayda. Pertemuan ini menjadi ajang koordinasi sosial dan politik antara kabilah Arab, namun minoritas Druze, meskipun hadir secara lokal, memiliki mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda dan lebih internal.

Suku Arab mayoritas yang mendukung pemerintah pusat atau milisi pro-Damaskus di era Presiden Ahmed Al Sharaa termasuk Baggara, Al-Aqeedat, dan beberapa cabang Al-Baqarah. Mereka sering menjadi basis perekrutan milisi lokal dan berperan dalam keamanan wilayah pedesaan.

Sementara itu, dukungan terhadap SDF (Syrian Democratic Forces) mayoritas berasal dari komunitas Kurdi dan beberapa suku Arab yang berada di Al-Hasakah, Raqqa, dan Deir ez-Zor. Kabilah seperti Shammar dan sebagian anggota Al-Baqarah dan Anizzah di timur laut diketahui bekerja sama dengan SDF karena kepentingan lokal dan perlindungan wilayah mereka.

Dalam konteks konflik Suriah, pengaruh suku tidak hanya soal jumlah, tetapi juga tentang jaringan sosial, sejarah mobilisasi, dan hubungan dengan kelompok politik atau militer. Ini menjelaskan mengapa kabilah Arab tetap menjadi pemain utama meski minoritas agama-sektarian Arab seperti Alawiyah dan Druze memiliki peran politik yang besar.

Tokoh Suriah terkenal juga mencerminkan afiliasi suku dan komunitas. Misalnya, Ahmed Al-Sharaa dari Daraa adalah Arab Sunni pedesaan atau sering disebut Annaza atau عنزة, sedangkan Bashar al-Assad dan keluarga Assad berasal dari Alawiyah di Latakia. Sultan al-Atrash, tokoh Druze legendaris, berpusat di Suwayda.

Sejumlah kabilah Arab pedesaan dan Badui yang mendominasi politik lokal antara lain: Al-Baqarah, Al-Aqeedat, Turkmen, Shammar, Baggara, Anizzah, Al-Hariri, Al-Jabour, Al-Murad, Al-Kurdi (Arab-Kurdi), Al-Harsh, Al-Sheikh, Al-Mashaal, Al-Fadl, Al-Shammar (varian), Al-Sayyad, Al-Azmeh, Al-Khatib, Al-Mufti, Al-Qudsi, Al-Halabi, Al-Salim, Al-Hassan, Al-Matar, Al-Rifai, Al-Karami, dan Al-Sharaa.

Minoritas besar lain yang memiliki pengaruh politik tetapi tidak dianggap kabilah Arab tradisional karena mempunyai perkumpulan sendiri adalah Alawiyah dan Druze. Keduanya menjadi kelompok dominan selama pemerintahan Bashar Al Assad dan ayahnya sehingga wajar wilayah keduanya menjadi yang termaju di Suriah dari pembangunan dan income percapita. Alawiyah menguasai wilayah pesisir dan memiliki jaringan politik yang kuat, sementara Druze menjaga otonomi di Suwayda.

Suku-suku ini, terutama yang Arab, juga memiliki kemampuan untuk mengorganisir “Perkumpulan Suku Suriah”, yang menjadi mekanisme koordinasi dan diplomasi internal. Kegiatan ini memperkuat solidaritas kabilah di tengah ketegangan dengan kelompok bersenjata lain.

Di wilayah utara dan timur, beberapa suku Arab bekerja sama dengan Turkmen (dulu bagian dari SIG) atau komunitas Kurdi (SDF) untuk kepentingan ekonomi dan keamanan. Hubungan ini menunjukkan fleksibilitas politik kabilah Arab di Suriah.

Selain itu, wilayah pedesaan seperti Aleppo, Hama, Idlib, dan pedesaan Damaskus dipenuhi suku Arab pertanian yang menjaga stabilitas lokal. Mereka menjadi jaringan penting dalam konflik internal dan dukungan pemerintah atau kelompok milisi tertentu.

Keberadaan kabilah Arab juga terlihat dalam struktur milisi lokal yang mendukung pemerintah atau SDF. Baggara, Al-Aqeedat, dan beberapa cabang Al-Baqarah tetap menjadi basis pemerintah, sedangkan Shammar, Anizzah, dan sebagian anggota Al-Baqarah di timur laut lebih condong ke SDF.

Struktur sosial kabilah ini memengaruhi politik lokal. Suku Arab tradisional mampu memobilisasi pejuang secara cepat, membentuk jaringan pertahanan, dan menjadi penentu keseimbangan kekuatan di wilayah masing-masing.

Dalam sejarah Suriah modern, konflik dan aliansi kabilah Arab dengan pemerintah maupun SDF membentuk dinamika yang kompleks. Aliansi kabilah sering bergeser sesuai kebutuhan keamanan, ekonomi, dan perlindungan wilayah.

Meskipun minoritas Alawiyah dan Druze memiliki pengaruh politik tinggi, mereka lebih bersifat sektarian dan terpusat di wilayah tertentu. Struktur mereka berbeda dengan jaringan kabilah Arab yang tersebar luas dan mampu memobilisasi ribuan anggota.

Kehadiran 30 kabilah Arab yang disebutkan menjelaskan dominasi sosial-politik Arab dalam konflik dan pemerintahan lokal. Mereka tetap menjadi aktor kunci, sementara minoritas seperti Alawiyah dan Druze beroperasi dalam jaringan internal mereka sendiri.

Perbedaan struktur ini juga memengaruhi dukungan terhadap milisi, pemerintah, dan SDF. Suku Arab mayoritas tetap menjadi tulang punggung dalam mobilisasi sosial-politik, sedangkan Alawiyah dan Druze lebih fokus pada stabilitas internal komunitas dan pengaruh politik terpusat.

Dengan demikian, Suriah tetap merupakan negara yang sangat bergantung pada dinamika kabilah Arab, meski minoritas sektarian Arab seperti Alawiyah dan Druze memiliki peran strategis. Struktur sosial dan afiliasi kabilah menjadi faktor utama dalam menentukan aliansi, konflik, dan distribusi kekuasaan di wilayah Suriah.

Share this:

 
Copyright © Berita Borbor. Designed by OddThemes