Dengan berlalunya perang panjang yang meluluhlantakkan negeri, Suriah kini menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali infrastruktur dan layanan dasar bagi rakyatnya. Ribuan sekolah, jalan, jaringan listrik, hingga masjid mengalami kerusakan berat. Dalam kondisi ini, berbagai kalangan menilai sudah saatnya Suriah menerapkan kembali konsep semi wajib militer, namun kali ini difokuskan bukan untuk peperangan, melainkan bagi rekonstruksi dan pembangunan.
Selama bertahun-tahun, wajib militer di Suriah identik dengan pertempuran dan garis depan. Namun gagasan baru ini ingin mengubah wajahnya menjadi sebuah “tentara pembangunan,” yaitu generasi muda yang dikerahkan secara sistematis untuk membantu perbaikan fasilitas umum. Dengan cara ini, negara dapat mengatasi keterbatasan tenaga kerja dan mempercepat rehabilitasi yang saat ini berjalan lamban.
Kementerian Pendidikan Suriah sendiri telah mengumumkan bahwa sebanyak 531 sekolah berhasil direhabilitasi menjelang tahun ajaran 2025–2026, sementara 676 lainnya masih dalam proses renovasi. Angka itu menunjukkan adanya upaya, namun jika dibandingkan dengan sekitar 27 ribu fasilitas pendidikan yang rusak, jelas langkah tersebut masih jauh dari cukup.
Tanpa dukungan tenaga tambahan, pembangunan akan tersendat. Apalagi jika mengandalkan kontraktor swasta atau bantuan terbatas dari organisasi kemanusiaan, prosesnya bisa memakan waktu puluhan tahun. Semi wajib militer rekonstruksi dapat menjadi solusi karena melibatkan rakyat sendiri dalam menyelamatkan masa depan negaranya.
Selain tenaga dalam negeri, Suriah juga dapat membuka diri bagi partisipasi negara-negara Arab maupun Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Negara-negara yang memiliki pengalaman menangani bencana dapat mengirimkan tim rekonstruksi secara sukarela. Dengan cara ini, beban keuangan Suriah yang masih rapuh tidak akan semakin berat.
Model kerja sama semacam ini dapat diatur melalui zonasi. Misalnya, sebuah kota ditangani oleh satu negara, sementara kota lain ditangani negara berbeda. Dengan demikian, setiap kawasan akan memiliki tanggung jawab yang jelas dan koordinasi akan lebih terarah.
Fokus awal rekonstruksi mestinya diarahkan pada fasilitas vital yang menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari. Masjid, jalan, jaringan air bersih, dan listrik menjadi prioritas utama. Kehadiran tentara pembangunan dan tim sukarela internasional akan mempercepat pulihnya layanan dasar tersebut.
Negara-negara yang enggan mengirimkan tim bisa berkontribusi melalui dana bantuan. Dana tersebut tetap akan digunakan untuk proyek-proyek rekonstruksi yang jelas, sehingga transparansi dapat dijaga. Dengan demikian, semua pihak bisa ikut serta sesuai kapasitas masing-masing.
Suriah sendiri tengah menjalani tahun ajaran baru. Namun di balik itu, ribuan anak-anak masih bersekolah di bangunan rusak atau bahkan di ruang darurat. Jika semi wajib militer pembangunan diterapkan, para pemuda Suriah dapat dilibatkan langsung dalam memperbaiki ruang belajar bagi adik-adik mereka.
Konsep ini juga bisa menumbuhkan semangat kebersamaan nasional. Pemuda yang sebelumnya terbiasa dengan perintah militer untuk berperang, kini diarahkan pada tugas mulia membangun kembali negerinya. Dari situ lahir rasa bangga baru: bukan karena kemenangan di medan tempur, melainkan kemenangan dalam rekonstruksi.
Sementara itu, peran negara sahabat sangat penting. Negara-negara Arab yang kaya pengalaman dalam pembangunan cepat pascabencana, seperti Mesir dan Turki, bisa membantu dengan mengirimkan tenaga ahli. Begitu juga negara-negara anggota OKI lainnya yang memiliki sumber daya teknis.
Koordinasi lintas negara ini dapat difasilitasi melalui forum internasional, di mana setiap negara menyatakan komitmennya untuk menangani satu wilayah tertentu. Dengan model itu, rekonstruksi tidak lagi bersifat parsial, tetapi terencana secara nasional.
Pemerintah Suriah tentu harus menyiapkan payung hukum yang jelas. Semi wajib militer pembangunan harus dilandasi aturan yang melindungi hak-hak peserta, termasuk lama pengabdian, jenis tugas, dan jaminan keselamatan kerja. Hal ini penting agar program tidak dipandang sebagai eksploitasi, melainkan sebagai pengabdian negara.
Selain itu, transparansi dalam penggunaan dana bantuan internasional akan menjadi kunci keberhasilan. Suriah perlu meyakinkan dunia bahwa setiap kontribusi, baik berupa tenaga maupun uang, benar-benar digunakan untuk rehabilitasi masyarakat, bukan dialihkan ke sektor lain.
Rakyat Suriah sendiri menunjukkan semangat luar biasa untuk bangkit. Banyak warga sudah bergotong royong memperbaiki rumah, sekolah, dan masjid mereka dengan peralatan seadanya. Jika kekuatan ini dilembagakan dalam semi wajib militer, hasilnya akan jauh lebih besar dan terorganisir.
Dari perspektif politik, program ini juga bisa memperbaiki citra Suriah di mata internasional. Dunia akan melihat negeri ini bukan lagi sekadar zona konflik, melainkan contoh negara yang bangkit dengan inovasi dan solidaritas.
Lebih jauh, tentara pembangunan juga bisa menjadi sarana pendidikan keterampilan bagi pemuda. Selama masa pengabdian, mereka akan belajar teknik konstruksi, manajemen proyek, hingga disiplin kerja. Ilmu tersebut akan berguna setelah mereka kembali ke kehidupan sipil.
Dengan jumlah sekolah yang rusak mencapai puluhan ribu, jelas Suriah membutuhkan strategi luar biasa. Semi wajib militer rekonstruksi, dipadu dengan solidaritas negara Arab dan OKI, bisa menjadi jalan keluar yang realistis.
Pada akhirnya, rekonstruksi Suriah bukan hanya soal membangun kembali gedung dan jalan. Lebih dari itu, ini adalah tentang mengembalikan harapan, menata ulang kehidupan, dan menciptakan generasi baru yang lebih kuat. Tentara pembangunan adalah simbol dari tekad itu.
Kini, pilihan ada di tangan Suriah. Apakah tetap berjalan lambat dengan tenaga terbatas, atau segera melompat maju dengan melibatkan seluruh rakyat dan sahabat internasional? Sejarah akan mencatat, bahwa dari reruntuhan, Suriah memilih bangkit bersama.
OKI Perlu Utusan Khusus untuk Suriah
Kembalinya Suriah ke dalam keanggotaan penuh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) setelah 13 tahun menjadi momentum penting bagi diplomasi kawasan. Keputusan yang diinisiasi Turki dalam Sidang Luar Biasa Dewan Menteri Luar Negeri OKI di Jeddah itu menandai babak baru hubungan dunia Islam dengan Damaskus. Setelah lama terpinggirkan, kini Suriah kembali duduk di meja perwakilan, diwakili langsung oleh Menteri Luar Negeri Assad Hassan Shaibani.
Sebelumnya, keanggotaan Suriah dibekukan pada Agustus 2012 dalam KTT Luar Biasa OKI di Mekah, menyusul rekomendasi eksekutif di Jeddah, ketika kekerasan rezim Bashar al-Assad terhadap rakyatnya meningkat. Langkah itu menjadi simbol penolakan dunia Islam terhadap kebijakan represif rezim Damaskus kala itu. Namun kini, dengan adanya pemerintahan baru pasca perang dan dimulainya fase rekonstruksi, keputusan OKI untuk mengaktifkan kembali keanggotaan Suriah dinilai tepat waktu.
Momentum ini mestinya tidak berhenti pada pemulihan kursi formal Suriah di OKI. Organisasi Islam terbesar di dunia ini perlu melangkah lebih jauh dengan menugaskan utusan khusus untuk membantu proses rekonstruksi Suriah. Hal serupa pernah dilakukan OKI untuk Afghanistan pasca pergantian kekuasaan di Kabul, ketika dunia khawatir dengan transisi pemerintahan yang tidak pasti.
Jika Afghanistan mendapatkan perhatian khusus, Suriah pun seharusnya demikian. Perang berkepanjangan telah menghancurkan infrastruktur vital, termasuk sekolah, rumah sakit, jaringan listrik, dan masjid. Rakyat Suriah saat ini membutuhkan dukungan nyata agar dapat kembali menjalani kehidupan normal. Sebuah utusan khusus OKI akan menjadi simbol sekaligus sarana nyata bagi komitmen solidaritas dunia Islam.
Selain simbolis, utusan khusus juga bisa berfungsi strategis. Ia dapat menjadi jembatan komunikasi antara Damaskus dan negara-negara anggota, memfasilitasi alokasi bantuan, serta mengoordinasikan proyek rekonstruksi agar tidak tumpang tindih. Dengan cakupan kerusakan yang begitu luas, diperlukan manajemen kolektif yang hanya bisa dijalankan melalui koordinasi multilateral.
Turki yang berperan besar dalam pemulihan keanggotaan Suriah di OKI bisa menjadi motor penggerak inisiatif ini. Sebagai negara yang aktif dalam isu kemanusiaan di Suriah, Ankara memiliki kredibilitas dan pengalaman. Namun, langkah ini tentu akan lebih kuat bila diadopsi secara kolektif oleh OKI, bukan hanya oleh satu negara.
Bagi Suriah, keberadaan utusan khusus akan mempercepat datangnya bantuan yang terorganisir. Negara-negara anggota yang tidak mampu mengirimkan tenaga bisa menyumbang dana, sementara yang memiliki kapasitas teknis bisa mengirimkan tim rekonstruksi. Koordinasi melalui OKI akan memastikan bahwa kontribusi setiap negara digunakan secara efektif sesuai zonasi dan kebutuhan lokal.
Di sisi lain, langkah ini juga akan mengangkat kembali relevansi OKI di mata dunia internasional. Selama ini, banyak pihak menilai OKI hanya aktif dalam pernyataan politik tanpa langkah nyata di lapangan. Dengan menunjuk utusan khusus untuk Suriah, OKI bisa membuktikan bahwa ia mampu memainkan peran penting dalam fase pascakonflik.
Warga Suriah sendiri menanti perhatian dunia Islam. Mereka ingin melihat solidaritas nyata, bukan hanya retorika. Kehadiran utusan khusus akan membawa pesan harapan bahwa dunia Islam tidak melupakan penderitaan mereka. Setelah Afghanistan, kini giliran Suriah yang pantas menjadi prioritas.
Jika OKI serius dengan misinya sebagai wadah solidaritas umat, maka penunjukan utusan khusus untuk Suriah adalah langkah yang tak bisa ditunda lagi. Kehancuran yang ditinggalkan perang tidak akan pulih hanya dengan kata-kata. Dibutuhkan koordinasi, kerja nyata, dan kehadiran langsung. Dari sinilah, kembalinya Suriah ke OKI bisa benar-benar berarti, bukan sekadar simbol politik.
Posting Komentar