Di pesisir barat Sumatra, kota Barus sejak lama dikenal sebagai pelabuhan tua yang menjadi pintu masuk awal Islam ke Nusantara. Selain jejak makam kuno dan jalur rempah, Barus juga menyimpan riwayat perayaan Asyura yang dulu hidup di tengah masyarakat. Tradisi itu dikenal sebagai Tabut, yakni peringatan kematian Sayyidina Husain bin Ali di Karbala, yang dibawa oleh para perantau dari Persia, Gujarat, dan India ke pelabuhan-pelabuhan Islam di Sumatra.
Denys Lombard dan Anthony Reid sama-sama mencatat bahwa selain di Aceh dan Pariaman, jejak peringatan Asyura juga pernah ada di Barus. Tradisi itu diadakan dalam bentuk arak-arakan keranda simbolis dan pesta rakyat setiap tanggal 10 Muharram. Seiring waktu, ritual tersebut bercampur dengan adat setempat dan berubah menjadi acara tahunan tanpa narasi keagamaan yang ketat. Meski begitu, nilai asal-usulnya tetap dipahami masyarakat tua sebagai bagian dari peringatan sejarah peristiwa Karbala.
Meski di Aceh dan Pariaman nama Tabut masih sempat bertahan hingga abad ke-19, di Barus tradisi itu mulai meredup lebih awal. Diperkirakan, pengaruh pemahaman Islam arusutama yang makin kuat di wilayah Sumatra dan Tapanuli membuat ruang gerak tradisi seperti Tabut makin terbatas. Beberapa sumber menyebut bahwa ritual Tabut di Barus masih tersisa secara sederhana dalam bentuk pesta Muharram hingga dekade 1970-an.
Tradisi ini mulanya tidak sepenuhnya menghilang. Di beberapa desa sekitar Barus, ritual mirip Tabut tetap dilakukan secara tidak resmi dalam bentuk arak-arakan kecil, permainan rakyat, dan simbol keranda tanpa menyebutkan unsur-unsur teologisnya. Acara ini lambat laun dipandang sebagai bagian dari budaya masyarakat pesisir, bukan sebagai ritual agama tertentu. Namun, situasi sosial-politik Indonesia yang makin ketat terhadap ragam ekspresi keagamaan pasca kemerdekaan membuat tradisi ini pelan-pelan terhapus.
Peristiwa Revolusi Iran tahun 1979 menjadi salah satu momentum penting yang mempercepat hilangnya tradisi Tabut di Barus. Ketika peristiwa itu mengguncang dunia Islam, kekhawatiran terhadap segala bentuk perayaan yang berbau Asyura menjadi tinggi di berbagai wilayah. Pemerintah saat itu makin sensitif terhadap aktivitas keagamaan non-arusutama yang dianggap bisa menimbulkan keramaian atau dicurigai bermuatan politik.
Di Aceh sendiri, tradisi Tabut lebih dulu mengalami penolakan resmi menjelang akhir abad ke-19. Selain karena tekanan kolonial Belanda yang khawatir terhadap potensi kerumunan massa, para pemuka agama di wilayah itu juga mulai mempersempit ruang ritual tersebut. Akibatnya, perayaan Tabut di Aceh lenyap jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, dan jejaknya kini hanya tinggal dalam catatan-catatan sejarah.
Tradisi Muharram di Aceh tak jauh berbeda dengan daerah lain. Aboebakar Atjeh dalam bukunya berjudul "Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia" (Solo Ramadhani, 1985) menyebut di Kampung Kedah, Aceh , orang sering melaksanakan perayaan tabut Hasan Husein pada setiap tahun. Perayaan diadakan di Kutaraja.
Adalah Tuanku Raja Keumala, keluarga India yang memainkan peranan penting dalam upacara Tabut Hasan Husein di Kampung Kedah, sebagai penghormatan atas kejadian yang sedih di Karbala, masyarakat memasak bubur yang bercampur buah-buahan dan dibagikan kepada orang yang melewati jalan.
"Kini perayaan Tabut Hasan Husein sudah terhapus di beberapa daerah di Sumatera," tulisnua.
Siti Maryam dalam disertasinya berjudul "Tradisi Syiah dalam Komunitas Ahlusunah Waljamaah Indonesia" (pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009) menyebut di Aceh, untuk memperingati bulan Asyura masyarakat membuat Kanji Asyura yang terbuat dari beras, susu, kelapa, gula, buah-buahan, kacang tanah, pepaya, delima, pisang dan akar-akaran.
Di Barus atau sekitarnya, karena wilayahnya dikenal lebih kosmopolit dan terbuka terhadap pengaruh luar, tradisi Tabut sempat bertahan lebih lama, setidaknya hingga dekade 70-an. Beberapa warga tua Barus bahkan masih ingat arak-arakan kecil di kampung mereka saat Muharram, meski tanpa lagi menyebutkan unsur peristiwa Karbala secara terang. Perayaan itu akhirnya dihentikan sepenuhnya setelah kondisi politik nasional makin ketat pada awal 1980-an.
Yang menarik, para sejarawan lokal menyayangkan minimnya dokumentasi tentang keberadaan Tabut di Barus. Berbeda dengan di Pariaman yang masih mempertahankan Tabuik sebagai festival budaya, di Barus tradisi itu benar-benar lenyap tanpa sempat dicatat secara utuh. Padahal, menurut catatan Denys Lombard dan Anthony Reid, jejak peringatan Asyura di Barus sama tuanya dengan di Aceh dan Pariaman.
Sebagian masyarakat tua sekitar Barus masih menyimpan ingatan tentang perayaan tersebut. Beberapa mengenang saat mereka kecil melihat orang tua membuat keranda dari kayu ringan, dihias sederhana, dan diarak keliling kampung saat Muharram. Walau tidak menyebut nama Tabut, masyarakat tetap tahu bahwa perayaan itu bagian dari tradisi lama memperingati wafatnya Husain.
Hilangnya tradisi Tabut dari Barus sekaligus menjadi potret kecil bagaimana tradisi keagamaan bisa tergerus oleh perubahan politik, tekanan sosial, dan dominasi pemahaman keagamaan arusutama. Tradisi yang awalnya hidup sebagai bagian dari ekspresi keimanan dan sejarah umat, perlahan dikikis oleh sistem kekuasaan yang lebih ketat terhadap keragaman praktik ibadah.
Di Barus, setelah tradisi Tabut hilang, tidak ada lagi perayaan Muharram yang bersifat arak-arakan atau prosesi simbolik. Peringatan 10 Muharram hanya dilakukan dalam bentuk zikir dan doa bersama di masjid. Sementara sisa-sisa cerita tentang keranda kayu yang pernah diarak kini hanya tinggal dalam ingatan beberapa orang tua, tanpa generasi penerus yang bisa merawat kisah itu.
Pergeseran ini tidak lepas dari ketegangan global pasca Revolusi Iran yang membuat berbagai wilayah di dunia Islam menjadi lebih waspada terhadap bentuk-bentuk perayaan Asyura. Pemerintah Indonesia, melalui kebijakan keagamaan nasional saat Orde Baru, juga lebih ketat mengatur aktivitas keagamaan rakyat di luar praktik resmi yang diakui negara.
Kini, sejarah Tabut di Barus hanya bisa ditelusuri melalui catatan-catatan terserak dan cerita lisan. Tidak ada festival budaya ataupun museum lokal yang menyimpan kenangan tentang perayaan itu. Bahkan di buku pelajaran sejarah Nusantara sekalipun, nama Barus lebih sering dikaitkan dengan perdagangan kapur barus dan penyebaran awal Islam, tanpa menyentuh soal keberagaman ekspresi keagamaannya.
Padahal, Barus dulu adalah pelabuhan kosmopolit di mana berbagai madzhab dan tradisi Islam pernah hidup berdampingan. Peringatan Asyura dengan Tabut menjadi bukti nyata bahwa Sumatra pernah memiliki keberagaman ritual yang lebih kaya sebelum terkikis oleh arus pemahaman tunggal. Kehilangan tradisi ini membuat potongan penting sejarah keberagaman Islam Nusantara semakin kabur.
Hingga kini, belum ada upaya akademik maupun budaya serius untuk menelusuri kembali jejak tradisi Tabut di Barus. Padahal, kisah itu bukan sekadar soal ritual, melainkan tentang perjalanan panjang interaksi budaya dan agama di pesisir barat Sumatra. Jika tidak dicatat, potongan sejarah itu bisa benar-benar hilang dari ingatan generasi mendatang.
SIMILAR ARTICLES
Posting Komentar