Masjid di Hay al‑Tadhamun, kawasan selatan Damaskus, tengah menggagas penggalangan dana untuk memperbaiki bangunan yang rusak parah setelah konflik panjang di Suriah. Inisiatif ini memunculkan pertanyaan besar: jika negara Suriah tengah menjalani rekonstruksi nasional, mengapa masjid masih harus mengandalkan bantuan lokal dari komunitas?
Meskipun pemerintah baru Suriah telah menjalin kerja sama internasional untuk memulihkan infrastruktur, dana besar untuk rekonstruksi sebagian besar masih belum mengalir secara efektif. Menurut laporan Global dan UNDP, total kebutuhan rekonstruksi mencapai antara 250 hingga 400 miliar dolar AS , namun sebagian besar proyek belum terealisasi atau masih dalam tahap perencanaan.
Meski sejak tahun lalu telah dibentuk dana khusus UN, yakni Syrian Early Recovery Fund senilai sekitar 500 juta dolar selama lima tahun, dan sulitnya akses dana eksternal akibat sanksi ekonomi yang telah lam menjadi hambatan utama, meski sudah mulai dikurangi. Penggunaan sebagian besar anggaran rekonstruksi juga tidak merata, seperti yang dilaporkan oleh OCCRP, yang menyebut bahwa hampir 90% dana pemerintah yang dikumpulkan melalui pajak telah dialokasikan untuk lembaga negara dan keamanan yang belum stabil.
Warga Damaskus terutama di kawasan padat penduduk seperti al‑Tadhamun, Hajar al‑Aswad, dan Yarmouk menghadapi realitas urban yang lembek: infrastruktur buruk, layanan minim, dan kerusakan masif akibat konflik. Dalam kondisi ini, masjid sebagai pusat sosial-keagamaan menjadi simbol vitalis untuk komunitas yang bangkit dari trauma.
Komunitas di Hay al-Tadhamun telah memulai penggalangan dana mandiri untuk memperbaiki masjid mereka, menandakan bahwa bantuan resmi maupun internasional belum menjangkau kebutuhan dasar spiritual lokal. Ini bukan sekadar soal dukungan simbolik, melainkan kehadiran praktis masjid yang memberi harapan bagi ketahanan spiritual masyarakat.
Sementara beberapa negara Teluk telah mencairkan dana — seperti Saudi Arabia dan Qatar yang melunasi hutang Suriah ke Bank Dunia serta menjamin investasi puluhan miliar dolar untuk rekonstruksi, realisasi bantuan untuk perbaikan properti komunitas di wilayah seperti Tadamun masih sangat terbatas. Banyak bantuan difokuskan pada proyek skala besar, seperti pembangunan infrastruktur energi, hunian massal, dan sektor publik.
Pada era Bashar Al Assad, pendanaan besar ini juga lebih banyak tertuju pada daerah-daerah loyalis rezim dan proyek-proyek yang dikelola langsung oleh struktur pemerintah atau entitas militer. Menurut investigasi independen, sebagian besar kontrak rekonstruksi diberikan kepada perusahaan dekat rezim dan di bawah kendali elite loyalis. Hal ini juga mempersempit aliran dana ke komunitas oposisi ataupun wilayah padat yang kesulitan seperti Tadamun.
Selanjutnya banyak sumbangan besar mengalir melalui proyek filantropi lintas negara dan lembaga donor internasional. Misalnya, Aga Khan Foundation menyumbang €100 juta selama dua tahun sebagai kontribusi pembangunan untuk program pengembangan Suriah secara luas.Meski penting, sebagian besar bantuan diarahkan ke sektor pendidikan, kesehatan, dan kompleks komunitas besar, bukan khusus untuk perbaikan masjid setempat.
Pemerintah Suriah juga tengah menyiapkan proyek revitalisasi nasional jangka panjang, termasuk dana obligasi nasional dan National Reconstruction Fund (NRFS) yang direncanakan akan mencakup hingga 1% dari anggaran tahunan negara. Tetapi, pelaksanaannya masih lambat dan kurang menjangkau kebutuhan masyarakat grass‑root.
Dalam konteks ini, di era Presiden Ahmed Al Sharaa, penggalangan dana masjid di Hay al‑Tadhamun sesungguhnya mencerminkan dua realitas: satu, pemerintah yang bekum menjangkau hingga tingkatan komunitas kecil; dua, masyarakat lokal terpaksa berinisiatif sendiri demi kelangsungan tempat ibadah mereka. Ini bukan sekadar urusan ekonomi, tapi juga soal identitas dan kohesi sosial setelah trauma berkepanjangan.
Penggalangan dana seperti ini bisa dilihat sebagai cermin ketimpangan distribusi bantuan besar dan bantuan lokal. Komunitas agama kadang terabaikan dalam aliran dana yang diprioritaskan untuk proyek infrastruktur besar dan simbol negara. Akibatnya, masjid dan fasilitas sosial cenderung bermasalah padahal memiliki peran vital dalam kehidupan sehari-hari warga.
Ke depan, penyelarasan antara skema rekonstruksi nasional dan kebutuhan komunitas sangat krusial. Bantuan yang tidak tepat sasaran bisa memperdalam ketimpangan dan memicu ketidakadilan. Reformasi institusi dan partisipasi masyarakat lokal, termasuk masjid, akan menjadi penentu keberhasilan rekonstruksi.
Secara garis besar, Suriah memang memiliki sejumlah mekanisme pendanaan dan kerja sama internasional untuk rekonstruksi, tetapi realisasi di tingkat akar rumput belum memadai. Ini memicu munculnya penggalangan dana mandiri di kawasan seperti Hay al‑Tadhamun sebagai upaya bertahan dan pulih dari kerusakan konflik.
Penggalangan dana untuk masjid adalah bukti nyata bahwa proses rekonstruksi Suriah masih jauh dari tuntas. Harapan akan kucuran bantuan ini tetap tinggi, namun masyarakat tak bisa menunggu hingga sistem besar sepenuhnya berfungsi. Inisiatif lokal seperti ini menjadi wujud daya tahan dan semangat solidaritas di tengah kesulitan.
Posting Komentar