Suriah, negara yang telah dilanda konflik selama lebih dari satu dekade, kini mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan ekonomi melalui serangkaian proyek rekonstruksi besar-besaran.
Pada November 2025, pemerintah Suriah mengumumkan investasi senilai puluhan miliar dolar dari berbagai negara mitra, yang diharapkan menjadi katalisator utama dalam memulihkan infrastruktur yang hancur. Di antara proyek utama adalah pengembangan Bandara Internasional Damascus dengan nilai 4 miliar dolar AS, yang didanai oleh Qatar melalui perusahaan UCC dan telah dimulai sejak Agustus lalu.
Proyek ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan konektivitas udara, tetapi juga untuk membuka pintu bagi perdagangan internasional yang lebih luas.
Selain itu, Metro Damascus dengan anggaran 2 miliar dolar AS dari Uni Emirat Arab menjadi proyek transportasi masif yang akan merevolusi mobilitas di ibu kota. Proyek ini diharapkan menyelesaikan masalah kemacetan lalu lintas yang kronis dan mendukung pertumbuhan sektor jasa di Suriah.
Tak ketinggalan, Damascus Towers dengan investasi 2 miliar dolar AS dari Italia melalui UBAKO akan menjadi kompleks real estate modern yang mencakup gedung perkantoran, hunian, dan pusat komersial. Proyek ini diproyeksikan menarik investor asing lebih banyak, sekaligus menciptakan ribuan lapangan kerja baru di sektor konstruksi dan properti.
Sementara itu, investasi dari Arab Saudi mencapai 6,4 miliar dolar AS, yang difokuskan pada rekonstruksi umum, termasuk revitalisasi industri semen dan infrastruktur dasar.
Menurut laporan World Bank, total biaya rekonstruksi Suriah diperkirakan mencapai 216 miliar dolar AS, meskipun beberapa sumber seperti Menteri Ekonomi Suriah Mohammed Nidal al-Shaar menyebutkan angka hingga 1 triliun dolar AS. Investasi yang telah mengalir sejak awal 2025, termasuk dari negara-negara Teluk seperti Saudi, UEA, dan Qatar, telah mencapai sekitar 28 miliar dolar AS, yang merupakan 13 persen dari kebutuhan total.
Angka ini menandakan komitmen regional untuk mendukung pemulihan Suriah pasca-penggulingan rezim Assad.
Dampak positif dari proyek-proyek ini terhadap ekonomi Suriah sudah mulai terlihat. IMF melaporkan adanya tanda-tanda pemulihan, dengan proyeksi pertumbuhan GDP sebesar 1 persen pada 2025 setelah kontraksi 1,5 persen tahun sebelumnya.
Penciptaan lapangan kerja menjadi salah satu manfaat utama, di mana proyek infrastruktur seperti bandara dan metro diperkirakan menyerap ribuan tenaga kerja lokal, sehingga mengurangi tingkat pengangguran yang sempat mencapai 50 persen.Selain itu, peningkatan aktivitas ekonomi di sektor konstruksi telah mendorong pertumbuhan domestik, dengan peningkatan pendapatan rumah tangga dan pajak bagi pemerintah.
Investasi Saudi, misalnya, tidak hanya membiayai rekonstruksi tetapi juga membantu stabilisasi mata uang lira Suriah yang sempat terpuruk akibat inflasi ratusan persen. Hal ini diharapkan membalikkan penurunan GDP lebih dari 50 persen sejak 2010, dengan kerugian kumulatif mencapai 226 miliar dolar AS.
Diversifikasi ekonomi juga menjadi fokus utama. Proyek-proyek ini menggeser ketergantungan Suriah dari minyak dan pertanian yang rusak akibat kekeringan, menuju sektor infrastruktur, energi, dan pariwisata.
Kesepakatan dengan UEA untuk pengelolaan pelabuhan dan proyek energi Qatar diharapkan meningkatkan ekspor, mengurangi inflasi, dan membuka peluang investasi lebih lanjut dari mitra internasional.
Namun, di balik optimisme ini, tantangan struktural masih menghantui. Sanksi AS yang masih berlaku, termasuk Caesar Act sejak 2020, menjadi penghalang utama aliran dana lebih besar. Meskipun Uni Eropa telah mencabut sebagian sanksi, pembatasan AS membatasi rekonstruksi, menyebabkan kesepakatan yang kurang transparan dan berisiko korupsi. Analis dari Carnegie Endowment menekankan perlunya rencana rekonstruksi yang komprehensif untuk menghindari ketidaksetaraan.
Skala investasi yang masih terbatas juga menjadi isu krusial. Dari total kebutuhan 216 miliar dolar AS, dana yang terkumpul baru mencapai sebagian kecil, sehingga pemulihan berjalan lambat. Selain itu, masuknya investasi asing berpotensi memicu inflasi sementara melalui kenaikan harga bahan baku, serta menimbulkan utang jangka panjang jika tidak dikelola dengan baik.
Dampak sosial-ekonomi yang tidak merata semakin memperburuk situasi. Proyek-proyek besar seperti di Damascus cenderung terpusat di ibu kota, meninggalkan wilayah pedesaan yang paling terdampak konflik. Hal ini bisa memperlemah jaringan ekonomi nasional, meningkatkan migrasi internal, dan memperburuk kemiskinan ekstrem yang menimpa 90 persen populasi Suriah.Laporan dari UNESCWA menyoroti kontraksi GDP sebesar 64 persen akibat konflik, disertai inflasi tinggi dan pengangguran massal. Meski ada peluang untuk bantuan kemanusiaan yang lebih besar, seperti yang disampaikan dalam briefing PBB pada November 2025, pemulihan ekonomi memerlukan stabilitas politik yang berkelanjutan.
Akademisi dan ekonom di Qatar News Agency menyebutkan bahwa keterlibatan kembali dengan IMF dapat memperkuat stabilitas moneter, mengurangi inflasi, dan meluncurkan proyek rekonstruksi lebih luas. Namun, ini memerlukan reformasi kuat untuk menghindari jebakan utang dan memastikan distribusi manfaat yang adil.
Konferensi di Damascus pada awal November 2025 memperingatkan agar rekonstruksi ekonomi tidak mengorbankan hak asasi manusia. Youssef, seorang pakar, menekankan bahwa proyek ekonomi harus tunduk pada prinsip keuntungan dan kerugian, bukan sekadar isu politik atau demografis.
Satu tahun setelah penggulingan Assad, kesepakatan senilai lebih dari 6 miliar dolar AS telah diumumkan, menandakan reintegrasi ekonomi regional. Namun, tantangan seperti perubahan iklim dan kekeringan terus mengancam sektor pertanian, yang menjadi tulang punggung ekonomi Suriah.
Dilaporkan bahwa kompetisi strategis baru muncul dalam rekonstruksi Suriah, dengan estimasi biaya hingga 400 miliar dolar AS.
Ini bisa melonjak menjadi 900 miliar jika tidak dikelola dengan baik, menurut pernyataan al-Sharaa.
Perusahaan mitra Suriah di Turki juga berpotensi memainkan peran penting dalam pemulihan, seperti yang dibahas dalam laporan IFRI. Kolaborasi ini dapat mendukung rekonstruksi mandiri tanpa bergantung sepenuhnya pada bantuan asing.
Saudi Arabia telah mengambil langkah konkret dengan membersihkan utang Suriah senilai 15 juta dolar AS ke World Bank, yang diharapkan membuka dana rekonstruksi lebih besar. Langkah ini menjadi harapan bagi stabilitas dan pemulihan nyata di Suriah.
Analis menyoroti bahwa sanksi AS tetap menjadi hambatan terbesar, meskipun pencabutan parsial sanksi UE. Ini memengaruhi upaya rekonstruksi dan membatasi akses ke pasar ekspor.Secara keseluruhan, proyek rekonstruksi ini memiliki dampak neto positif, dengan potensi pertumbuhan tahunan 1-2 persen melalui penciptaan lapangan kerja dan infrastruktur baru.
Namun, keberhasilan bergantung pada pencabutan sanksi penuh, transparansi, dan distribusi manfaat yang merata.World Bank merekomendasikan rencana holistik untuk memaksimalkan potensi ini, agar Suriah tidak hanya bangkit secara ekonomi tetapi juga mencapai ketahanan jangka panjang di tengah gejolak regional.


Posting Komentar