STC Yaman di Persimpangan: Tekanan atau Momentum?

Keputusan Rashad al-Alimi untuk mengusir Uni Emirat Arab dan menuntut penarikan pasukan yang didukung UEA telah mengubah posisi Dewan Transisi Selatan (STC) dari sekadar aktor regional menjadi pusat gravitasi krisis politik Yaman. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah STC akan bergerak, melainkan bagaimana dan sejauh apa langkah mereka berikutnya.

Dalam kondisi saat ini, tindakan STC yang paling masuk akal adalah menahan eskalasi militer langsung sambil memperkuat posisi politiknya. Pernyataan STC yang “siap berdialog” bukan sinyal kelemahan, melainkan upaya mengunci legitimasi moral di hadapan komunitas internasional dan Arab Saudi, sembari menunggu kesalahan berikutnya dari PLC versi al-Alimi.

Fakta bahwa tiga anggota PLC pro-UEA secara terbuka menentang keputusan al-Alimi, lalu diikuti Tariq Saleh, menciptakan realitas politik baru: PLC terbelah secara nyata. Dengan komposisi 4 banding 4, al-Alimi kehilangan posisi sebagai pemersatu dan berubah menjadi ketua faksi, bukan kepala kolektif.

Bagi STC, perpecahan PLC ini adalah peluang emas. Selama PLC terbelah, tidak ada otoritas tunggal yang dapat secara sah memerintahkan STC mundur dari Hadramaut atau Al-Mahra. Dalam hukum konflik internal, ketiadaan konsensus pusat melemahkan legitimasi perintah itu sendiri.

Jika dialog yang ditawarkan STC gagal, langkah paling mungkin berikutnya bukanlah deklarasi kemerdekaan, melainkan konsolidasi institusional. Ini mencakup penguatan struktur pemerintahan sipil, keamanan, dan fiskal di wilayah yang sudah mereka kuasai, khususnya Aden dan sekitarnya.

Deklarasi kemerdekaan secara terburu-buru justru berisiko merugikan STC. Selama Hadramaut dan Al-Mahra—yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi—masih berada di bawah pengaruh Riyadh, kemerdekaan Yaman Selatan akan lahir dalam kondisi terfragmentasi, tidak utuh, dan sulit dipertahankan.

Jika STC mendeklarasikan kemerdekaan tanpa Hadramaut dan Al-Mahra, negara baru itu akan terlihat timpang: pesisir dan kota besar ada, tetapi wilayah penyangga strategis dan sumber daya utama belum sepenuhnya dikuasai. Ini memberi Saudi kartu veto de facto atas kelangsungan negara tersebut.

Karena itu, opsi yang lebih menguntungkan adalah membentuk pemerintahan paralel terlebih dahulu, bersama pasukan Tariq Saleh dan faksi pro-UEA lain. Pemerintahan paralel memberi STC ruang membangun legitimasi administratif tanpa memicu reaksi keras internasional seperti pengumuman kemerdekaan.

Model ini memungkinkan STC berkata bahwa mereka tidak memisahkan diri, melainkan mengisi kekosongan negara akibat konflik internal PLC. Narasi ini jauh lebih mudah diterima dibandingkan klaim pemisahan diri langsung.

Jika STC merasa terpojok dan memilih langkah ekstrem seperti mengambil alih Bank Sentral Yaman dan fasilitas publik di Aden, maka krisis akan masuk fase baru. PLC versi al-Alimi hampir pasti akan memindahkan pusat operasional ke Marib atau wilayah timur lain yang masih aman.

Pemindahan ini akan sangat mahal. Kerugian ekonomi PLC bisa mencapai ratusan juta dolar dalam bentuk hilangnya kontrol atas penerimaan pelabuhan, pajak, serta sistem pembayaran negara. Aparatur sipil yang bergantung pada Aden juga akan terganggu.

Lebih sensitif lagi adalah deposito Arab Saudi di Bank Sentral Yaman di Aden, yang nilainya diperkirakan berkisar beberapa miliar dolar. Jika bank jatuh ke tangan STC, Saudi menghadapi dilema: menarik dana dan mengakui fragmentasi, atau bertahan dan bernegosiasi dengan realitas baru.

Dalam skenario ini, jika Saudi melihat langkah STC yang egois, Riyadh kemungkinan secara perlahan menarik investasinya di ekonomi wilayah STC.

Secara politis, langkah al-Alimi mengusir UEA memang tampak seperti upaya menegaskan kedaulatan. Namun secara tidak langsung, tindakan ini juga mengakui keberadaan pemerintahan paralel Yaman Selatan, meskipun belum diumumkan secara formal.

Dengan memutus hubungan pertahanan dan menantang sponsor utama STC, al-Alimi pada dasarnya mengakui bahwa ia tidak lagi memiliki kendali atas selatan. Pengakuan ini tidak diucapkan, tetapi terlihat jelas dalam tindakan.

Pertanyaannya kemudian: apakah pidato al-Alimi merupakan pukulan telak bagi STC? Dalam jangka pendek, mungkin iya secara retorika. Namun dalam jangka menengah hingga panjang, pidato itu justru berpotensi menjadi kemenangan strategis bagi STC.

STC kini bisa mengklaim bahwa mereka diserang secara politik, bukan sebagai pemberontak, tetapi sebagai entitas yang sedang dipaksa keluar dari struktur negara yang sudah tidak netral. Ini memperkuat narasi perjuangan mereka.

Kesimpulannya, langkah paling masuk akal bagi STC adalah menahan deklarasi kemerdekaan, memperdalam pemerintahan de facto, dan membiarkan PLC terkikis dari dalam. Waktu, fragmentasi, dan tekanan ekonomi justru bekerja untuk kepentingan STC.

Ironisnya, dengan niat mempertahankan kedaulatan Yaman, Rashad al-Alimi mungkin justru mempercepat lahirnya realitas dua negara—atau bahkan lebih—di Yaman. Dalam konteks ini, pidatonya bisa tercatat bukan sebagai pukulan bagi STC, tetapi sebagai titik balik kemenangan sunyi mereka. Atau apakah semua percaturan ini sudah dipikirkan matang-matang oleh aktor politik di Yaman?

Share this:

 
Copyright © Berita Borbor. Designed by OddThemes